Saturday, September 3, 2011

Kejayaan Banten Mulai Sejak Abad 2 M


DEWAWARMAN mendirikan kerajaan yang terletak diujung barat Pulau Jawa, tepatnya di daerah selatan Propinsi Banten, atau Pandeglang yang beribukota di Rajatapura tahun 130 Masehi, atau abad 2 Masehi. Kerajaan tersebut bernama SALAKANAGARA yang berkuasa atas daerah bagian barat Pulau Jawa, semua pulau di bagian barat Pulau Jawa, Selat Sunda, Krakatau serta daerah pantai selatan Pulau Sumatera. Dewawarman yang menikah dengan Pohaci Larasati, pribumi putri dari seorang tetua yang dihormati di wilayah pesisir barat bernama Aki Tirem, mendapat pesan dari Aki Tirem untuk meneruskan kekuasaannya sesaat sebelum Aki meninggal. Dewawarman dengan serta merta menyambut tongkat estafet kekuasaan dengan dukungan para penduduk dengan membuat kerajaan yang resmi dengan nama Salakanagara, atau Negara Perak.   

Apabila kita membuka dan menyimak buku-buku pelajaran sejarah Indonesia, baik yang resmi digunakan di sekolah maupun buku sejarah bebas, kebanyakan kita hanya disuguhkan pengertian tentang keberadaan sejarah Banten dalam nuansa abad pertengahan, dari sekitar abad 16 hingga 19, yaitu dengan adanya catatan mengenai Kesultanan Banten yang mulai didirikan oleh Hasanuddin, putra Syarif Hidayatullah Susuhunan Gunung Jati pada tahun 1526. Itupun masih terbatas pada era kejayaan Sultan Abulfath Abdulfatah yang lebih dikenal dengan nama Sultan Ageng Tirtayasa yang memerintah dari tahun 1651 hingga 1683.

Memang pernah juga ditemukan dalam sedikit buku referensi sejarah Banten, dimana ditemukan Prasasti Munjul di tengah Sungai Cidanghyang, Munjul, Kabupaten Pandeglang yang tertulis dalam bahasa Sanskrit (Sansekerta) beraksara Pallawa. Tulisannya berbunyi “vikrantayam vanipateh, prabbhuh satyaparakramah, narendraddhvajabutena crimatah, purnnavarmmanah” yang terjemahannya kira-kira adalah “Penguasa dunia yang perkasa, prabu yang setia serta penuh kepahlawanan, yang menjadi panji segala raja, Purnawarman yang tersohor.” Purnawarman adalah raja diraja kerajaan besar yang juga pernah ada di daerah barat Jawa, yaitu Tarumanegara pada abad 5.

Ditemukannya peninggalan-peninggalan bernilai sejarah, seperti batuan-batuan menhir di Gunung Karang dan Pulosari (Pandeglang), punden berundak di Pegunungan Halimun (Lebak), arca-arca atau patung Trimurti, Agastya, Durga di daerah Pulosari, lalu arca Siwa, Ganesha di Pulau Panaitan menunjukkan bukti keberadaan suatu peradaban yang lebih maju dari sekedar gambaran manusia purba.

            Wacana ini tentu telah memberikan suatu gambaran luas bahwa Banten memiliki potensi untuk penelitian arkeologi yang dapat ditelusuri dan untuk mencari bukti-bukti lebih jelas mengenai sejarah masa silam yang pernah ada di tatar Banten. Hingga saat ini telah banyak arkeolog dan para ahli yang melakukan penelitian mendalam di beberapa tempat yang diperkirakan terdapat peninggalan-peninggalan baik yang berasal dari jaman Pleistosen, jauh sebelum Masehi, atau awal permulaan Masehi hingga jaman kesultanan Banten.

            Bisa disebutkan disini nama-nama ahli dan sejarawan yang membuktikan bahwa tatar Banten memiliki nilai-nilai sejarah yang tinggi, seperti Husein Djajadiningrat, Tb. H. Achmad, Hasan Mu’arif Ambary, Halwany Michrob dan lain-lainnya. Banyak sudah temuan-temuan mereka disusun dalam tulisan-tulisan, ulasan-ulasan maupun dalam buku. Belum lagi nama-nama seperti John Miksic, Takashi, Atja, Saleh Danasasmita, Yoseph Iskandar, Claude Guillot, Ayatrohaedi dan lain-lain yang menambah wawasan mengenai Banten menjadi tambah luas dan terbuka dengan karya-karyanya dibuat baik dalam bahasa Indonesia maupun bahasa Inggeris.

KETURUNAN INDIA

            Nama Salakanagara tentunya masih sangatlah asing di telinga kebanyakan orang awam. Namun bagi para sejarawan atau para pemerhati sejarah, Salakanagara mungkin jadi adalah sebuah nama yang teramat akrab, terutama untuk penelitian ke arah pembuktian keberadaan sebuah pelurusan sejarah tentang adanya peradaban kerajaan tertua yang pernah ada di nusantara selain Kerajaan Tarumanagara di Jawa Barat dan Kerajaan Kutai (Bakulapura) di Kalimantan yang selama ini selalu disebut sebagai kerajaan tertua. Diperkirakan Kerajaan Salakanagara berdiri 100 tahun lebih awal dibanding Kutai.

            Ketiga kerajaan tersebut sebetulnya memiliki kisah perjalanan dan asal yang sama. Bila pendiri Salakanagara, Dewawarman adalah duta keliling, pedagang sekaligus perantau dari Pallawa, Bharata (India) yang akhirnya menetap karena menikah dengan puteri penghulu setempat, sedangkan pendiri Tarumanagara adalah Maharesi Jayasingawarman, pengungsi dari wilayah Calankayana, Bharata karena daerahnya dikuasai oleh kerajaan lain. Sementara Kutai didirikan oleh pengungsi dari Magada, Bharata setelah daerahnya juga dikuasai oleh kerajaan lain.

            Adalah Aki Tirem, penghulu atau penguasa kampung setempat yang akhirnya menjadi mertua Dewawarman ketika puteri Sang Aki Luhur Mulya bernama Pohaci Larasati diperisteri oleh Dewawarman. Hal ini membuat semua pengikut dan pasukan Dewawarman menikah dengan wanita setempat dan tak ingin kembali ke kampung halamannya.

            Ketika Aki Tirem meninggal, Dewawarman menerima tongkat kekuasaan. Tahun 130 Masehi ia kemudian mendirikan sebuah kerajaan dengan nama Salakanagara (Negeri Perak) beribukota di Rajatapura. Ia menjadi raja pertama dengan gelar Prabu Darmalokapala Dewawarman Aji Raksa Gapura Sagara. Beberapa kerajaan kecil di sekitarnya menjadi daerah kekuasaannya, antara lain Kerajaan Agnynusa yang berada di Pulau Krakatau (Krakatau saat itu masih luas dan berukuran besar dengan sebuah gunung berapi yang menjulang di tengahnya setinggi sekitar 2.000 meter sebelum akhirnya hancur lebur tahun 416 Masehi ketika letusan besarnya meluluh-lantakkan daratan itu hingga terpecah menjadi 3 bagian, yaitu Rakata, Sertung dan Panjang).

            Dengan mengambil tempat di Rajatapura sebagai ibukota kerajaan, Raja Dewawarman I memerintah selama 38 tahun dari tahun 130 sampai dengan 168 Masehi.

Sejak ditemukannya bekas peninggalan Kerajaan Salakanagara yang memiliki kekuasaan di daerah selatan Sumatera, Selat Sunda, Agnynusa (Krakatau), Pulau Panaitan, Ujung Kulon dan daerah Jawa Barat bagian barat, maka kajian sejarah nasional yang selama ini belum mengangkat keberadaan Salakanagara sebagai kerajaan tertua di nusantara perlu kiranya diperhatikan kembali sebagai aset yang sangat berharga, tentunya bagi masyarakat Banten khususnya terhadap kebanggaan daerah.

Salakanagara berdiri hanya selama 233 tahun, tepatnya dari tahun 130 Masehi hingga tahun 363 Masehi. Raja Dewawarman I sendiri hanya berkuasa selama 38 tahun dan digantikan anaknya yang menjadi Raja Dewawarman II dengan gelar Prabu Digwijayakasa Dewawarmanputra. Prabu Dharmawirya tercatat sebagai Raja Dewawarman VIII atau raja Salakanagara terakhir hingga tahun 363 karena sejak itu Salakanagara telah menjadi kerajaan yang berada di bawah kekuasaan Tarumanagara yang didirikan tahun 358 Masehi oleh Maharesi yang berasal dari Calankayana, India bernama Jayasinghawarman. Pada masa kekuasaan Dewawarman VIII, keadaan ekonomi penduduknya sangat baik, makmur dan sentosa, sedangkan kehidupan beragama sangat harmonis.

Perlu diketengahkan juga disini bahwa keturunan Dewawarman banyak yang kemudian mengembara ke daerah-daerah atau pulau-pulau lain. Kelak mereka yang laki-laki menjadi cikal bakal kerajaan-kerajaan yang pernah ada di nusantara ini, seperti Kerajaan Sriwijaya, Kutai, Majapahit, Singosari, Kalingga dll. Sementara anak wanita banyak yang menikah dengan raja atau putra raja.

KERAJAAN TARUMANAGARA
Jayasinghawarman sendiri sebetulnya adalah menantu sang Dewawarman VIII. Jadi apabila dirunut sejarahnya, bisa jadi Tarumanagara merupakan kerajaan yang besar dari hubungannya dengan Salakanagara. Sebagai menantu raja, maka tentunya ia mendapatkan banyak kemudahan, dari harta, uang maupun kekuasaan. Karena itu tak heran apabila ia hanya memerlukan 10 tahun untuk dapat mendirikan sebuah kerajaan yang beribukota di Jayasinghapura, nama yang diambil sesuai dengan namanya.

Ibukota Tarumanagara pindah ke Sundapura, daerah Bekasi pada jaman kekuasaan Sri Maharaja Purnawarman, raja Tarumanagara ke 3 yang merupakan cucu Jayasinghawarman. Purnawarman berkuasa pada tahun 395 hingga 434 Masehi dan pada masanya Tarumanagara kuat dalam angkatan perang dengan persenjataan yang lengkap, terutama angkatan lautnya. Karena saking kuatnya, setiap pertempuran selalu dimenangkannya, terutama menghadapi para perompak/bajak laut. Karena itu dibuatlah prasasti yang berada di aliran Sungai Cidanghyang, Munjul, Kabupaten Pandeglang yang menandakan Purnawarman sebagai penguasa termashur yang perkasa dan penuh kepahlawanan.

Saat Purnawarman wafat, kekuasaan Tarumanagara telah sangat luas dan meliputi Ujung Kulon, Salakanagara (Pandeglang), Lebak, Cilegon,  Kelapa Dua (Jakarta), Cirebon, Purwakarta, Bandung, Ciamis, Garut hingga Tasikmalaya. Bila dilihat pada peta, maka berarti Tarumanagara telah menjangkau seluruh area yang kini disebut Jawa Barat, Banten dan bahkan DKI Jakarta.

Tidaklah heran apabila orang lebih banyak mengenal Kerajaan Tarumanagara dengan rajanya, Purnawarman yang karena jasanya membawa Tarumanagara sebagai negara yang kuat dan termashur. Sama halnya dengan termashurnya Kesultanan Banten pada masa kekuasaan Sultan Ageng Tirtayasa yang seringkali disalahartikan oleh pelajar sekolah dengan “Sultan Agung (Hanyokrokusumo)” dari Kerajaan Mataram.

Namun Tarumanagarapun akhirnya mengalami masa peralihan ketika Sang Linggawarman, raja Tarumanagara ke 12 yang memerintah tahun 666 - 669 Masehi harus menyerahkan kekuasaan pada menantunya (karena ia hanya punya anak perempuan dan tak punya anak laki-laki).

KERAJAAN SUNDA
Tahun 669 sang menantu, Tarusbawa diangkat menjadi raja Tarumanagara ke 13. Ia mengganti nama Tarumanagara dengan nama baru “Kerajaan Sunda” dan memindahkan ibukotanya ke Pakuan (Bogor) sehingga ia menjadi raja pertamanya dan dengan demikian pula berakhirlah kejayaan Tarumanagara setelah selama 311 tahun (358 - 669 Masehi) menjadi kerajaan yang sangat kuat di kawasan barat Pulau Jawa.

Kerajaan Sunda berdiri tahun 669 dengan raja pertamanya Tarusbawa (669 – 723 M) dengan gelar Sang Sri         Maharaja Tarusbawa Darmawaskita Manumanggalajaya. Kerajaan yang lebih sering disebut dengan “Sunda Pajajaran” atau “Pajajaran” ini berumur sangat panjang hingga tahun 1579 Masehi atau tepatnya 910 tahun.

Tercatat ada 34 raja, sejak jaman Tarusbawa, berkuasa untuk Kerajaan Sunda dan 6 raja untuk Kerajaan Sunda Pajajaran. Prabu Dharmasiksa Sanghyang Wisnu merupakan raja ke 25 dengan masa kekuasaan paling lama, yaitu 122 tahun (1175 – 1297 M), kemudian Sang Niskala Wastu Kencana, raja ke 33, 104 tahun (1371 – 1475 M), sedangkan raja Sunda ke 34 atau terakhir, Prabu Susuktunggal, berkuasa selama 100 tahun (1382 –1482 M) di Pakuan  sebelum akhirnya menyerahkan kekuasaanya kepada Sang Manahrasa Jayadewata, putra Prabu Dewa Niskala, Raja Galuh. Dewa Niskala yang juga adik Prabu Susuktunggal, harus menyerahkan kekuasaan Galuh yang beribukota di Kawali pada anaknya. Sama halnya dengan Susuktunggal yang harus menyerahkan Pakuan kepada keponakan yang sekaligus menantu Susuktunggal karena menikah dengan putri Susuktunggal, Puteri Kentring Manik Mayang Sunda. Akibat konflik intern antar kakak adik itu dan untuk menghindari perpecahan yang lebih parah, maka diadakan musyawarah kekeluargaan yanng memutuskan agar Dewa Niskala turun tahta dari Galuh, sedangkan Susuktunggalpun harus turun tahta dari Kerajaan Sunda. Kedua kerajaan itu kemudian diserahkan kepada satu tangan kembali dibawah kekuasaan Jayadewata.

Sang Manahrasa Jayadewata inilah yang akhirnya dikenal dengan nama julukan Prabu Siliwangi atau Sang Sri Baduga Maharaja Ratu Aji di Pakuan Pajajaran Sri Sang Ratu Dewata. Dialah raja Kerajaan Sunda atau Pajajaran yang paling termasyhur (1482 – 1521 M) karena pada masanya Pajajaran diperintah dengan adil, rakyatnya makmur dan sentosa, perdagangan sangat maju. Maka nama Prabu Siliwangi tak kalah harumnya dengan nama kakeknya Prabu Wangisutah Sang Niskala Wastu Kencana.

Kerajaan Sunda atau Pajajaran mulai surut semenjak Sang Prabu Siliwangi wafat tahun 1521 M. Tercatat ada 5 raja yang berturut-turut memegang tampuk pemerintahan sebelum akhirnya lenyap setelah dikuasai oleh Kesultanan Banten yang berpusat di Banten Lor (Banten Utara), sekitar 9 km utara kota Serang sekarang.

KESULTANAN BANTEN
Banten yang berdiri tahun 1526 sebagai Kadipaten di bawah Kerajaan Demak didirikan oleh Syarif Hidayatullah Susuhunan Gunung Jati, salah seorang Wali Songo yang dikenal dengan nama Sunan Gunung Jati dan juga merupakan cucu dari Sang Prabu Siliwangi. Adipati pertamanya adalah Hasanuddin, putra Syarif Hidayatullah. Tahun 1568 seiring dengan perkembangan pesat Banten, maka akhirnya Banten menjadi negara Islam yang berdaulat penuh dengan sebutan Kesultanan Banten dan Hasanuddin dinobatkan sebagai raja pertama dengan nama Maulana Hasanuddin (1568 – 1570 M).

Sementara Pajajaran makin kehilangan pamornya sebagai kerajaan besar. Raja yang berkuasapun semakin membawa kerajaan ini ke titik kehancuran. Bahkan raja terakhirnya, Prabu Ragamulya Suryakencana atau disebut Prabu Pucuk Umun tidak lagi memerintah di Pakuan setelah ibukota tersebut dihancurkan oleh pasukan Banten, melainkan di Pulosari, Pandeglang.

Sedangkan Banten sendiri di tangan Sultan Abulfath Abdulfatah, raja ke 5 Banten, menjadi negara yang sangat kuat, perdagangan yang maju, kehidupan ekonomi masyarakatnya begitu makmur dan jaya raya. Sultan ini membangun juga istana kesultanan di daerah Tirtayasa, maka itulah ia dikenal dengan sebutan Sultan Ageng Tirtayasa.

Setelah berdiri selama kurang lebih 300 tahun (sejak 1526 hingga sekitar 1830 M), akhirnya Kesultanan Bantenpun lenyap untuk selam-lamanya setelah penjajah Belanda  menguasai Banten sejak mereka berhasil menangkap Sultan Ageng Tirtayasa tahun 1683. Mulai saat itulah kuku-kuku penjajah Belanda mulai dirasakan dan mencengkeram rakyat Banten, sementara kekuasaan raja Banten ke 6 hingga ke 20 atau terakhir, hanyalah sekedar simbol tanpa lagi memiliki kekuatan sementara Belanda semakin meraja-lela menguasai daerah Banten serta mengambil hasil bumi untuk dibawa ke Belanda.

Berakhirlah kejayaan tanah Banten yang telah dibangun sejak lebih dari seribu tahun yang lampau oleh duta keliling, pedagang dan perantau asal Pallawa, Bharata (India) yang bernama Dewawarman. Kejayaan yang dimulai tahun 130 Masehi oleh Kerajaan Salakanagara, lalu berturut-turut dilanjutkan oleh Tarumanagara, Sunda, Sunda Pajajaran dan akhirnya Kesultanan Banten, akhirnya lenyap untuk selama-lamanya 1700 tahun kemudian atau pada tahun 1830 ketika Belanda membumi-hanguskan kota Surosowan yang menjadi ibukota Kesultanan Banten. 

LETAK RAJATAPURA
            Setelah menilik cerita yang tersusun tadi, maka timbullah suatu pertanyaan yang menggelitik: “Dimanakah letak ibukota kerajaan tersebut? Pernahkah didapati penemuan-penemuan yang meyakinkan bahwa benar kerajaan tersebut ada?”

Penentuan lokasi bekas ibukota Salakanagara yang bernama Rajatapura sangatlah sulit, selain belum adanya kesamaan nama daerah, juga pencocokan data dari buku sejarah lama dengan data arkeologi sehingga memerlukan waktu yang cukup panjang untuk mengungkap keberadaannya.

Namun apabila mengutip dari hasil penelitian para ahli sejarah dan sumber-sumber tentang sejarah Banten, seperti buku susunan Drs. Yoseph Iskandar, dkk berjudul “Sejarah Banten”, penelusuran diarahkan ke Gunung Pulosari, Pandeglang dimana ditemukan arca-arca Hindu.

Dalam buku Pustaka Raja Bumi Nusantara tertulis bahwa Dewawarman memerintah Kerajaan Salakanagara dengan ibukotanya bernama Rajatapura yang terletak di tepi laut. Saleh Danasasmita memperkirakan bahwa lokasi pusat kota Rajatapura berada di muara Sungai Ciliman, wilayah Teluk Lada, Pandeglang.

Namun dengan beberapa pertimbangan yang mengukur masa 1870 tahun yang lampau dimana terjadi proses alam atau geologi, pembentukan endapan serta dilihat dari kedudukan ibukota, maka diperkirakan Rajatapura berlokasi di daerah yang kini disebut Mandalawangi, kota kecamatan di Kabupaten Pandeglang yang secara geografis sangat strategis, secara keamanan dan pertahanan terlindung oleh tiga buah benteng alam, yaitu Gunung Aseupan, Karang dan Pulosari.

Jadi bila kita kembali ke masa dimana raja terakhir Pajajaran, Prabu Pucuk Umun yang menghabiskan waktunya di Gunung Pulosari, ini seolah-olah menunjukkan seseorang yang terlahir dan mengembara ke tempat lain, namun akhirnya kembali juga ke tempat asalnya pada saat menghembuskan napas terakhirnya. Kerajaan yang dibangun tahun 130 M di tempat ini akhirnya harus lenyap di tempat yang sama 1449 tahun kemudian.

IBUKOTA KERAJAAN LAIN
              Bagaimana dengan ibukota dari kerajaan-kerajaan lain yang diceritakan tersebut, seperti ibukota Tarumanagara dan Sunda Pajajaran?
           
Ketika Jayasinghawarman mendarat di Pulau Jawa bagian barat, maka ia mendirikan padepokan atau pedesaan yang disebut Taruma-desya. 10 Tahun kemudian desa yang tersebut menjadi besar dan akhirnya dijadikan sebagai pusat kerajaan Tarumanagara. Nama ibukota tersebut adalah Jayasinghapura (Kota Jayasingha). Raja Purnawarman yang akhirnya memindahkan ibukota kerajaan ke sebelah utara Jayasinghapura dengan nama Sundapura (Kota Sunda).

            Diperkirakan Sundapura berada pada wilayah Bekasi, Jawa Barat di desa yang kini bernama Tarumajaya. Sementara belum diketahui dimana sebetulnya letak Jayasinghapura. Namun apabila mengikuti arah dalam sejarah, maka titik pada arah barat daya dari Sundapura ditemukan satu kota yang kini bernama Jasinga. Apakah nama ini merupakan penggalan dari Jayasinga? Ini perlu penelitian lebih jauh dan mendalam mengenai otentisitas kebenarannya.

            Kemudian ibukota kerajaan Sunda Pajajaran yang bernama Pakuan. Dipastikan bahwa lokasinya berada di daerah Bogor.  Dalam Carita Parahyangan tertulis adanya 5 buah Keraton yang didirikan oleh Tarusbawa, dengan posisi yang berjajar dalam bentuk dan besarnya sama persis. Posisi yang berjajar inilah yang membawa istilah pa-jajar-an sehingga Kerajaan Sunda lebih dikenal dengan nama Pajajaran.

            Keraton yang disebut Sri Bima, Punta, Narayana, Madura dan Suradipati ini didirikan di atas bukit dan lokasi itu kini sayangnya telah didirikan villa peristirahatan pembesar negeri ini. Sementara tersebutlah juga mengenai tempat suci bernama Sanghyang Rancamaya yang terletak diatas bukit, tempat diperabukannya jenazah raja-raja Sunda, sudah tak ada lagi bekasnya karena telah menjadi daerah perumahan elit.

            Yang terakhir, Kerajaan Galuh yang berada di daerah Ciamis dengan ibukota Kawali, dimana Prabu Dewa Niskala, ayah kandung Sang Manahrasa Jayadewata atau kelak dikenal dengan sebutan Prabu Siliwangi, pernah berkuasa, dapat diperkirakan bahwa lokasi pusat kota Kawali berada pada kota kecamatan yang kini juga bernama Kawali, sekitar 10 km arah utara Ciamis.

            Jadi kita dapat menarik kesimpulan dari runutan sejarah yang pernah terjadi di tanah Banten ini bahwa ternyata ada yang pernah tertinggal dalam pengembangan informasi pengetahuan tentang sejarah lama bangsa ini. Walau telah banyak sejarawan yang mencoba mengangkat keberadaan masa lalu yang pernah jaya dari tanah Banten ini, namun upaya tersebut rupanya belum membawa hasil yang maksimal. Banten hingga kini hanya terkenal dengan Kesultanan Banten dan Sultan Ageng Tirtayasanya. Selebihnya, ternyata survey membuktikan bahwa 95% dari masyarakat dan bahkan dari para legislatif, eksekutif serta para pendidik masih belum mengetahui adanya sejarah kejayaan Banten yang dimulai pada tahun 130 Masehi.

            Memang perlu waktu, tenaga dan biaya untuk mensosialisaikan sejarah bangsa yang semestinya menjadi kebanggaan nasional, khususnya kebanggaan masyarakat Banten, karena bertolak dari peradaban pemerintahan kerajaan yang berlokasi di Pandeglang, Banten, itulah kelak berdiri kerajaan-kerajaan kecil maupun besar yang pernah ada di nusantara ini.

            Bangsa yang besar adalah bangsa yang selalu bangga dan menghargai sejarahnya dan juga menghormati pahlawannya. Maka itulah sudah semestinya kita bersama-sama memelihara kejayaan bangsa ini dan terus melestarikan peninggalannya agar tetap abadi hingga cucu kita akan dapat mengetahui betapa bangsa kita adalah bangsa yang besar dan beradab sejak jaman dahulu kala....

*****


(Disarikan oleh Wishnu HS Al Bataafi. Diambil dari berbagai sumber) 

No comments:

Post a Comment