Saturday, September 3, 2011

Fenomena Rampak Bedug



Ketika para pengunjung telah mengisi kursi-kursi yang terbuat dari batang pohon kelapa yang disediakan tepat di atas hamparan pasir tepi pantai sebuah hotel berbintang di kawasan Anyer di suatu Malam Minggu yang cerah, lamat-lamat terdengar langkah 6 pasang kaki manusia berpakaian warna hitam dengan ikat kepala hitam-merah berjalan mendekati serangkai bedug yang dipasang hampir menyentuh bibir laut. Sejurus kemudian mereka telah berdiri menghadap masing-masing bedug besar berukuran diameter sekitar 60 cm, tepat menghadap ke laut lepas yang terlihat gelap. Saat itu asyik terdengar juga debur ombak dipermainkan karang sehingga ombak pecah sebelum mencapai pantai.

Diawali oleh pemain tilingtit (bedug kecil) yang duduk di sisi kiri rangkaian bedug, 6 pemukul bedug besar mulai mempertunjukkan aksinya yang bermain harmonis secara bersamaan dan serempak maupun berirama susul menyusul dan sahut menyahut. Begitu mengasyikkan menyaksikan penampilan 12 pemain, baik bedug besar maupun bedug kecil saling menimpali dengan irama yang begitu menggetarkan relung hati.


Rampak Bedug. Begitulah kesenian yang tersebut diatas dinamakan. Rampak Bedug berarti irama bedug yang dimainkan serempak, merupakan seni budaya yang menjadi kebanggaan masyarakat Banten selain kesenian lain seperti debus, rudat, terbang gede dan lain-lain. Kesenian ini tumbuh dan berkembang di selatan Banten, yaitu di Kabupaten Pandeglang.

Bedug pada umumnya terdapat pada mesjid-mesjid yang digunakan untuk mengingatkan waktu shalat yang ditabuh sebelum muadzin melakukan adzan. Namun pada perkembangannya bedug juga digunakan untuk menyambut peristiwa-peristiwa khusus atau hari-hari istimewa, seperti malam takbiran yang ditabuh dengan irama riang dalam menyambut saat-saat kemenangan seusai menunaikan ibadah puasa selama sebulan penuh pada bulan Ramadhan, atau juga saat menyambut Iedul Adha dan lain-lain.

Alat yang terbuat dari kulit sapi ini pada akhirnya digunakan untuk hal-hal yang lebih atraktif dengan ditampilkan dalam irama penuh kekuatan dan dilakukan bersama-sama, tidak hanya bedug ukuran besar, namun juga dengan bedug ukuran kecil, dan bahkan ditambah dengan alat musik lain seperti alat musik tiup, alat musik petik, gong dan alat lainnya, termasuk dengan diiringi penari-penari. Bahkan pula agar tidak tampak monoton, sang penabuh bedugpun tampil begitu atraktif dan menghentak disertai gerakan-gerakan pencak silat, tarian serta ditingkahi dengan teriakan semangat yang membahana. Sesekali nuansa debuspun disatukan dalam irama atau musik yang diperagakan membuat para penonton begitu takjub menyaksikan kesenian tersebut.

Kesenian ini semula hanya ditampilkan dalam skala yang begitu sedikit. Di Pandeglang sendiri pada awal perkembangannya hanya sesekali ditampilkan secara umum. Seperti misal, pada acara hari jadi Kabupaten Pandeglang dimana dibuat semacam Festival Rampak Bedug dengan menampilkan kelompok-kelompok yang saling berlomba untuk menjadi yang terbaik. Pada awalnya Rampak Bedug ditampilkan dengan gaya yang kaku dan tampak monoton, namun seiring dengan berjalannya waktu, Rampak Bedug dibuat lebih bervariasi dengan musik dan gerakan yang diperbaharui sehingga tampak lebih menarik dan asyik untuk disaksikan bahkan kini sering pula ditampilkan dengan menggabungkan seni debus ke dalam penampilannya. Dengan demikian para pemain Rampak Bedug selain harus bisa memainkan bedug dan menari, juga harus bisa mempelajari dan pandai memainkan ilmu kebal untuk penampilan debusnya, seperti makan api, memasak di atas kepala, mengupas kelapa dengan gigi, tusuk jarum, makan bara dsb. Mempelajari Rampak Bedug dan variasi pertunjukannya itu bukanlah hal yang mudah. Bila dilakukan penuh ketekunan dan keinginan keras, maka hal itu menjadi sesuatu yang tidak terlalu sulit.

Namun di luar kegiatan festival itu, kelompok-kelompok tadi ternyata berjalan sendiri-sendiri. Ada yang mempunyai jadwal tetap untuk tampil di suatu tempat, tetapi ada juga yang tidak mempunyai acara sama sekali, sehingga akhirnya mulai rontok satu-persatu karena tidak mempunyai penghasilan dan tidak mampu membiayai perawatan peralatan dan bahkan tidak mampu membayar anggotanya yang rata-rata kelompok biasanya memiliki anggota sebanyak 25 orang yang umumnya berisikan para anak muda.

Dari sekian kelompok yang masih bertahan, tersebutlah kelompok asal Kota Pandeglang yang dipimpin oleh Syaiful yang memiliki jadwal tampil tetap setiap Malam Minggu di hotel berbintang di Anyer. Selain dari pada itu juga ia dan kelompoknya kerap diminta untuk tampil dalam acara-acara resmi yang berskala nasional, seperti 17 Agustusan di Senayan, pesta atau syukuran para pejabat atau pengusaha terkemuka di Jakarta, festival rampak bedug di beberapa tempat, melatih di beberapa perusahaan besar di Banten dsb. Kelompok Syaiful ini juga selalu menyandang gelar juara Rampak Bedug tahunan di Banten hingga kini.

Ipul, nama panggilan sehari-hari Syaiful, pernah pula membawa bendera kesenian Banten itu ke Tong-Tong Fair di Belanda bersama para seniman Banten lain bulan Agustus lalu dan mendapat sambutan yang cukup baik dari para pengunjung Eropa. Bahkan bila jadi, ia diminta untuk road show keliling Eropa tahun depan. 

Sayang sekali apabila melihat kenyataan bahwa selain masih ada kelompok yang eksis, ada pula yang sudah tidak lagi berkibar sehingga menutup peluang kerja baik utama maupun sampingan bagi para pemuda yang ingin menekuni bidang budaya ini. Bubarnya kelompok-kelompok yang tidak bisa bersaing ini secara tidak langsung menyurutkan minat pemuda untuk melestarikan Rampak Bedug karena mereka beranggapan bahwa bidang tersebut tidak bisa dijadikan tempat sandaran hidup, mendapat penghasilan atau berkreasi.

Rampak Bedug merupakan sebuah fenomena yang sudah selayaknya ditangkap sebagai suatu kesempatan baik yang perlu dilestarikan, dipelihara dan dikembangkan karena merupakan seni budaya asli Banten yang luhur dan peninggalan nenek moyang kita. Sudah saatnya mendapat perhatian dan dukungan lebih serius, baik dari para budayawan maupun para pengusaha dan pemerintah tentunya dalam hal bantuan pembinaan dan pendanaan.

Budaya merupakan cerminan yang hidup dan berkembang dalam keseharian masyarakat. Adalah hal yang sangat diharapkan bahwa budaya mesti tumbuh dan terus hidup dalam setiap tatanan kehidupan yang berjalan sesuai dengan kebiasaan dan adat istiadat daerah setempat. Pemerintah harus dapat melihat bahwa konsep pengembangan daerah, baik ekonomi, sosial, budaya dan pariwisata berasal dari tata kehidupan yang berasaskan kemasyarakatan dan muncul dari jiwa sehari-hari masyarakat setempat. Rampak Bedug adalah salah satu jiwa yang muncul dalam keseharian masyarakat yang memerlukan nafas untuk sekedar hidup dan bertahan dalam kebanggaan terhadap budaya yang masih ada…



(oleh Wishnu HS Al Bataafi. Penulis adalah alumni BPLP Bandung. Kini bekerja di sebuah hotel berbintang empat di Banten)

No comments:

Post a Comment