PANDEGLANG, Keraton Surosowan adalah sebuah keraton di Banten. Keraton ini dibangun sekitar tahun 1522-1526 pada masa pemerintahan Sultan pertama Banten, Sultan Maulana Hasanudin dan konon juga melibatkan ahli bangunan asal Belanda, yaitu Hendrik Lucasz Cardeel, seorang arsitek berkebangsaan Belanda yang memeluk Islam yang bergelar Pangeran Wiraguna .
Dinding pembatas setinggi 2 meter mengitari area keraton sekitar kurang lebih 3 hektar. Surowowan mirip sebuah benteng Belanda yang kokoh dengan bastion (sudut benteng yang berbentuk intan) di empat sudut bangunannya. Bangunan di dalam dinding keraton tak ada lagi yang utuh. Hanya menyisakan runtuhan dinding dan pondasi kamar-kamar berdenah persegi empat yang jumlahnya puluhan.
Keraton Surosowan ini memiliki tiga gerbang masuk, masing-masing terletak di sisi utara, timur, dan selatan. Namun, pintu selatan telah ditutup dengan tembok, tidak diketahui apa sebabnya. Pada bagian tengah keraton terdapat sebuah bangunan kolam berisi air berwarna hijau, yang dipenuhi oleh ganggang dan lumut. Di keraton ini juga banyak ruang di dalam keraton yang berhubungan dengan air atau mandi-mandi (petirtaan). Salah satu yang terkenal adalah bekas kolam taman, bernama Bale Kambang Rara Denok. Ada pula pancuran untuk pemandian yang biasa disebut “pancuran mas”.
Kolam Rara Denok berbentuk persegi empat dengan panjang 30 meter dan lebar 13 meter serta kedalaman kolam 4,5 meter. Ada dua sumber air di Surosowan yaitu sumur dan Danau Tasikardi yang terletak sekitar dua kilometer dari Surosowan.
Berikut ini adalah sebuah Catatan yang dibuat oleh Cecep Eka Permana berkaitan dengan Kajian Arkeologi mengenai Keraton Surosowan Banten Lama, Catatan yang pernah dimuat di Makara, Sosial Humaniora Vol 8 No 3 Desember 2004 ini menarik karena dengan berdasarkan hasil penelitiannya dan berdasarkan analisis peta kuno, keraton Surosowan paling sedikit telah mengalami lima tahap pembangunan. Dari data pengupasan dan penggalian keraton sekarang ini hanya dapat memperlihatkan adanya dua fase pembangunan. Berdasarkan sisa ubin dalam tiap ruang, diperoleh rekonstruksi ukuran dan pola pasang ubin pada tiap ruang di kompleks keraton. Diperoleh pula data untuk merekonstruksi pola pasangan bata dinding bangunan dan pondasi pada bangunan di kompleks keraton. Sementara itu, fungsi bangunan yang diketahui adalah tempat tinggal sultan dan keluarga, bangsal terima tamu, kolam Roro Denok, dan pemandian Pancuran Mas.
Keraton merupakan bangunan yang memegang peranan sangat penting bagi sebuah kerajaan. Seperti halnya keraton pada umumnya di Jawa, keraton Surosowan juga memiliki makna ganda, yakni sebagai bangunan tempat tinggal sultan dan keluarganya serta perangkat kerajaan lainnya, dan sebagai pusat kerajaan–dalam hal ini kerajaan Banten. Mengikuti pola umum tata kota kerajaan Islam di Indonesia, keraton Surosowan juga merupakan pusat kota Banten. Demikian pula, alun-alun terletak di sebelah utara keraton, mesjid Agung Banten di sebelah barat keraton, pasar Karangantu di sebelah timur, dan pelabuhan berada di sebelah utara.
Keraton Surosowan sudah beberapa kali mengalami perubahan. Berdasarkan peta-peta kuno diketahui bahwa pada peta tertua (1596), keraton Surosowan digambarkan masih sangat sederhana berupa satu bangunan rumah dikelilingi pagar dan beberapa bangunan yang terletak di selatan alun-alun. Pata peta 1624, keraton Surosowan sudah digambarkan berupa bangunan berundak dan bertingkat serta dikelilingi rumah-rumah. Gambaran yang hampir sama masih dijumpai pada peta 1726, dimana terlihat bangunan inti keraton memiliki bagian bawah bangunan yang berundak-undak, dan atap yang semakin ke atas makin kecil meruncing, hanya ukuran keraton semakin besar.
Berikut ini adalah gambar peta-peta kuno tersebut
Sultan Haji dibantu Belanda. Pada masa pemerintahan Sultan Haji (1672–1687) keraton ini dibangun kembali di atas puing-puing keraton Sultan Ageng Tirtayasa yang sudah rata dengan tanah tahun 1680–1681. Pada tahun 1808 terjadi perselisihan Sultan Banten dengan Belanda. Pada tahun itu juga keraton Surosowan dihancurkan oleh Belanda di bawah pimpinan Daendels. Penghancuran tersebut berlangsung hingga tahun 1832.
Bahan bangunan dari keraton Surosowan banyak diambil untuk digunakan kembali pada bangunan Belanda lainnya. Sehingga, keraton Surosowan yang ada sekarang ini merupakan sisa dari sisa-sisa kehancurannya.
Dari hasil penelitian lapangan diketahui bahwa sisa-sisa struktur bangunan keraton Surosowan baru berhasil dimunculkan lewat serangkaian penelitian arkeologi pada bagian tengah keraton. Sementara itu, sisi sebelah barat dan timur bagian dalam keraton masih berupa gundukan tanah yang ditumbuhi rerumputan. Khusus untuk struktur yang telah tampak dipermukaan, karena meliputi areal yang cukup luas dan temuan yang cukup padat, maka dibagi menjadi sembilan sektor (Sektor A– I).
Dari analisis struktur bangunan, diketahui bahwa ada beberapa tipe pondasi digunakan di keraton Surosowan. Tipe yang banyak digunakan adalah tipe yang terdiri atas enam lapisan; dua lapisan terbawah menggunakan karang berbentuk kotak seadanya, dan empat lapisan di atasnya menggunakan bahan bata. Tiap lapisan disusun sedikian rupa sehingga tersusun secara simetris makin ke atas makin mengecil (tipe E dan F).
Dari struktur dinding juga diketahui terdapat beberapa tipe, umumnya adalah berupa susunan bata utuh sedemikian rupa sehingga dari sisi luar dinding terlihat: lapis pertama berupa susunan sisi tebal-panjang bata (strek), lapis kedua berupa susunan sisi tebal-lebar bata (kop), lapis ketiga kembali sama seperti lapis pertama, lapis keempat sama dengan lapis kedua, dan seterusnya.
Sementara itu, dari struktur lantai diketahui bahwa digunakan dua bahan yaitu ubin (untuk ruang yang penting) dan bata (untuk ruang yang kurang penting dan jalan/gang). Dari analisis struktur bangunan juga diketahui bahwa keraton Surosowan yang tampak sekarang ini juga dibangun secara bertahap. Tahapan itu terlihat pada gejala penambahan ruang, penutupan struktur untuk peninggian lantai. Gejala ini terutama terlihat pada struktur bangunan pada sektor A (ruang A.5 dan A.11), dan sektor B (ruang B.1).
Dari analisis tata letak bangunan, khususnya struktur bangunan di dalam komplek keraton, diperoleh informasi terdapat: kediaman sultan, bangunan untuk istri dan kerabat keraton, bangunan terbuka dengan tiang dan permadani, Roro Denok (kolam dan bale kambang), kolam Pancuran Mas, Siti luhur, Made bahan, Made mundu, Made gayam, kandang kuda, dan tempat kereta kuda. Berdasarkan data lapangan di dalam kerton yang masih terlihat dapat dikatakan bahwa bangunan yang dianggap sama hanyalah: kolam Roro Denok (sektor D) dan kolam Pancuran Mas (sektor G).
Bangunan kediaman sultan terletak antara kolam Pancuran Mas, yakni bangunan pada sektor E. Bagian utara (depan) sektor ini terdapat 20 umpak sebagai dasar tiang, terdiri atas 12 umpak di sisi barat dan 8 umpak di sisi timur. Mungkin dua kelompok umpak ini dahulunya merupakan dua bangunan panggung yang saling berhadapan. Di tengah “halaman” antara dua kelompok umpak tadi terdapat sisa struktur lengkung tapal kuda, yang diduga reruntuhan gapura di depan bangunan ini.
Di sebelah selatan (belakang) sektor ini terdapat ruang ruang dan kolam mandi dengan tangga ke dalamnya. Selain itu, madhebahan menurut naskah G LOr 27389 adalah gapura besar keraton; madhemundu dan madegayam adalah pos jaga yang terdapat di madhebahan; dan didekat madhegayam terdapat sitiluhur yang letaknya bersebelahan dengan gudang senjata dan kandang kuda.
Secara keseluruhan, berdasarkan peta tahun 1900, tata letak keraton Surosowan berbeda dengan keraton Cirebon, Yogyakarta dan Surakarta. Jika pada keraton di Cirebon, Yogyakarta, dan Surakarta terbagi atas tiga halaman, maka keraton Surosowan secara garis besar hanya memiliki dua halaman (di luar dan di dalam benteng). Di dalam benteng terdapat (a) istana sultan, (b) kolam Roro Denok, (c) Datulaya, (d) kolam Pancuran Mas, (e) gerbang utara, dan (f) gerbang timur. Sementara, di luar benteng terdapat (a) alun-alun, (b) watu gilang, (c) mesjid Agung Banten, (d) bangunan Tiyamah, (e) srimanganti, (f) meriam Ki Amuk, dan (g) baledana.
Sementara itu, berdasarkan analisis hubungan lokasional dan fungsional diketahui bahwa semua struktur bangunan yang tampak sekarang saling berhubungan dan memiliki fungsinya sendiri-sendiri. Bangunan di dalam benteng sebelah kanan/barat (sektor A) berkaitan dengan bangunan persenjataan dan pertahanan.
Bangunan di depan gerbang sebagai bangunan utama ‘kantor’ dan aktivitas sultan (sektor B sisi barat), dan sebagai bangunan tenaga pendukung atau pelayan kerajaan (sektor B sisi timur), serta sebagai tempat kediaman kerabat sultan (sektor B sisi selatan). Di sebelah timur sektor B, terdapat kediaman sultan (sektor E) dan taman kolam Roro Denok dengan bale kambangnya di depannya (sektor D). Bangunanbangunan pada sisi selatan keraton berkaitan dengan penampungan air bersih, pemandian, dan bak pengaturan air kotor (sektor G), serta sebagai bangunan ‘karyawan’ keraton (sektor H).
5. Kesimpulan
Dari penelitian ini menunjukkan bahwa berdasarkan analisis peta kuno, keraton Surosowan paling sedikit telah mengalami lima tahap pembangunan. Dari data pengupasan dan penggalian hanya dapat memperlihatkan adanya dua fase pembangunan berdasarkan indikasi struktur bangunan yang tumpang tindih. Berdasarkan sisa lantai dalam tiap ruang diketahui terbuat dari bahan ubin atau tegel semen berglasur merah, dan bata, serta dapat direkonstruksi ukuran, dan pola pasangnya pada tiap ruang di kompleks keraton. Di samping itu diperoleh pula data untuk merekonstruksi pola pasangan bata dinding bangunan dan pondasi pada bangunan di kompleks keraton. Sementara itu, berdasarkan pengamatan di lapangan juga diperoleh asumsi beberapa fungsi bangunan yang telah ditampakkan, seperti tempat tinggal sultan, bangsal terima tamu, kolam taman Roro Denok, dan pemandian Pancuran Mas untuk para kerabat keraton.
Oleh: Iim Mulyana
Sumber: http://humaspdg.wordpress.com