Anak dari Sunan Gunung Jati ( Hasanudin ) menikah dengan seorang putri dari Sultan Trenggono dan melahirkan dua orang anak. Anak yang pertama bernama Maulana Yusuf. Sedangkan anak kedua menikah dengan anak dari Ratu Kali Nyamat dan menjadi Penguasa Jepara.
Terjadi perebutan kekuasaan setelah Maulana Yusuf wafat (1570). Pangeran Jepara merasa berkuasa atas Kerajaan Banten daripada anak Maulana Yusuf yang bernama Maulana Muhammad karena Maulana Muhammad masih terlalu muda. Akhirnya Kerajaan Jepara menyerang Kerajaan Banten. Perang ini dimenangkan oleh Kerajaan Banten karena dibantu oleh para ulama.
Kerajaan Banten mencapai puncak kejayaannya pada masa pemerintahan Abu Fatah Abdulfatah atau lebih dikenal dengan nama Sultan Ageng Tirtayasa. Saat itu Pelabuhan Banten telah menjadi pelabuhan internasional sehingga perekonomian Banten maju pesat.
Daftar pemimpin Kesultanan Banten
Sunan Gunung Jati
Sultan Maulana Hasanudin 1552 - 1570
Maulana Yusuf 1570 - 1580
Maulana Muhammad 1585 - 1590
Sultan Abdul Mufahir Mahmud Abdul Kadir 1605 - 1640
Sultan Abu al-Ma'ali Ahmad 1640 - 1650
Sultan Ageng Tirtayasa 1651-1680
Sultan Abdul Kahar (Sultan Haji) 1683 - 1687
Sultan Yahya 1687 - 1690
Sultan Zainul Abidin 1690 - 1733
Sultan Arifin 1733–1748
Halimin
Abul Nazar Mohammad Arif Zainul Asikin 1753–1777
SUNAN GUNUNG JATI
Sunan Gunung Jati atau Syarif Hidayatullah, lahir sekitar 1450 M namun ada juga yang mengatakan bahwa ia lahir pada sekitar 1448 M. Sunan Gunung Jati adalah salah satu dari kelompok ulama besar di Jawa bernama walisongo.
Sunan Gunung Jati bernama Syarif Hidayatullah, lahir sekitar 1450. Ayah beliau adalah Syarif Abdullah bin Nur Alam bin Jamaluddin Akbar. Jamaluddin Akbar adalah seorang Muballigh dan Musafir besar dari Gujarat, India yang sangat dikenal sebagai Syekh Mawlana Akbar bagi kaum Sufi di tanah air. Syekh Mawlana Akbar adalah putra Ahmad Jalal Syah putra Abdullah Khan putra Abdul Malik putra Alwi putra Syekh Muhammad Shahib Mirbath, ulama besar di Hadramawt, Yaman yang silsilahnya sampai kepada Rasulullah melalui cucu beliau Imam Husayn.
Ibunda Syarif Hidayatullah adalah Nyai Rara Santang putri Prabu Siliwangi (dari Nyai Subang Larang) adik Kiyan Santang bergelar Pangeran Cakrabuwana yang berguru kepada Syekh Datuk Kahfi, seorang Muballigh asal Baghdad bernama asli Idhafi Mahdi.
Makam Nyai Rara Santang bisa ditemui di dalam komplek KLENTENG di Pasar Bogor, di sebelah Kebun Raya Bogor.
Pertemuan Rara Santang dengan Syarif Abdullah cucu Syekh Mawlana Akbar masih diperselisihkan. Sebagian riwayat (lebih tepatnya mitos) menyebutkan bertemu pertama kali di Mesir, tapi analisis yang lebih kuat atas dasar perkembangan Islam di pesisir ketika itu, pertemuan mereka di tempat-tempat pengajian seperti yang di Majelis Syekh Quro, Karawang (tempat belajar Nyai Subang Larang ibunda dari Rara Santang) atau di Majelis Syekh Kahfi, Cirebon (tempat belajar Kiyan Santang kakanda dari Rara Santang).
Syarif Abdullah cucu Syekh Mawlana Akbar, sangat mungkin terlibat aktif membantu pengajian di majelis-majelis itu mengingat ayahanda dan kakek beliau datang ke Nusantara sengaja untuk menyokong perkembangan agama Islam yang telah dirintis oleh para pendahulu.
Pernikahan Rara Santang putri Prabu Siliwangi dan Nyai Subang Larang dengan Abdullah cucu Syekh Mawlana Akbar melahirkan seorang putra yang diberi nama Raden Syarif Hidayatullah.
Raden Syarif Hidayatullah mewarisi kecendrungan spiritual dari kakek buyutnya Syekh Mawlana Akbar sehingga ketika telah selesai belajar agama di pesantren Syekh Kahfi beliau meneruskan ke Timur Tengah. Tempat mana saja yang dikunjungi masih diperselisihkan, kecuali (mungkin) Mekah dan Madinah karena ke 2 tempat itu wajib dikunjungi sebagai bagian dari ibadah haji buat seluruh umat Islam.
Babad Cirebon menyebutkan ketika Pangeran Cakrabuawana membangun kota Cirebon dan tidak mempunyai pewaris, maka sepulang dari Timur Tengah Raden Syarif Hidayat mengambil peranan mambangun kota Cirebon dan menjadi pemimpin perkampungan Muslim yang baru dibentuk itu setalah Uwaknya wafat.
Memasuki usia dewasa sekitar diantara tahun 1470-1480, beliau menikahi adik dari Bupati Banten ketika itu bernama Nyai Kawunganten. Dari pernikahan ini beliau mendapatkan seorang putri yaitu Ratu Wulung Ayu dan Mawlana Hasanuddin yang kelak menjadi Sultan Banten I.
Masa ini kurang banyak diteliti para sejarawan hingga tiba masa pendirian Kesultanan Demak tahun 1487 yang mana beliau memberikan andil karena sebagai anggota dari Dewan Muballigh yang sekarang kita kenal dengan nama Walisongo. Pada masa ini beliau berusia sekitar 37 tahun kurang lebih sama dengan usia Raden Patah yang baru diangkat menjadi Sultan Demak I bergelar Alam Akbar Al Fattah. Bila Syarif Hidayat keturunan Syekh Mawlana Akbar Gujarat dari pihak ayah, maka Raden Patah adalah keturunan beliau juga tapi dari pihak ibu yang lahir di Campa.
Dengan diangkatnya Raden Patah sebagai Sultan di Pulau Jawa bukan hanya di Demak, maka Cirebon menjadi semacam Negara Bagian bawahan vassal state dari kesultanan Demak, terbukti dengan tidak adanya riwayat tentang pelantikan Syarif Hidayatullah secara resmi sebagai Sultan Cirebon.
Hal ini sesuai dengan strategi yang telah digariskan Sunan Ampel, Ulama yang paling di-tua-kan di Dewan Muballigh, bahwa agama Islam akan disebarkan di Pulau Jawa dengan Kesultanan Demak sebagai pelopornya.
Setelah pendirian Kesultanan Demak antara tahun 1490 hingga 1518 adalah masa-masa paling sulit, baik bagi Syarif Hidayat dan Raden Patah karena proses Islamisasi secara damai mengalami gangguan internal dari kerajaan Pakuan dan Galuh (di Jawa Barat) dan Majapahit (di Jawa Tengah dan Jawa Timur) dan gangguan external dari Portugis yang telah mulai expansi di Asia Tenggara.
Raja Pakuan di awal abad 16, seiring masuknya Portugis di Pasai dan Malaka, merasa mendapat sekutu untuk mengurangi pengaruh Syarif Hidayat yang telah berkembang di Cirebon dan Banten. Hanya Sunda Kelapa yang masih dalam kekuasaan Pakuan.
Di saat yang genting inilah Syarif Hidayat berperan dalam membimbing Pati Unus dalam pembentukan armada gabungan Kesultanan Banten, Demak, Cirebon di Pulau Jawa dengan misi utama mengusir Portugis dari wilayah Asia Tenggara. Terlebih dulu Syarif Hidayat menikahkan putrinya untuk menjadi istri Pati Unus yang ke 2 di tahun 1511.
Kegagalan expedisi jihad II Pati Unus yang sangat fatal di tahun 1521 memaksa Syarif Hidayat merombak Pimpinan Armada Gabungan yang masih tersisa dan mengangkat Tubagus Pasai (belakangan dikenal dengan nama Fatahillah),untuk menggantikan Pati Unus yang syahid di Malaka, sebagai Panglima berikutnya dan menyusun strategi baru untuk memancing Portugis bertempur di Pulau Jawa.
Sangat kebetulan karena Raja Pakuan telah resmi mengundang Armada Portugis datang ke Sunda Kelapa sebagai dukungan bagi kerajaan Pakuan yang sangat lemah di laut yang telah dijepit oleh Kesultanan Banten di Barat dan Kesultanan Cirebon di Timur.
Kedatangan armada Portugis sangat diharapkan dapat menjaga Sunda Kelapa dari kejatuhan berikutnya karena praktis Kerajaan Hindu Pakuan tidak memiliki lagi kota pelabuhan di Pulau Jawa setelah Banten dan Cirebon menjadi kerajaan-kerajaan Islam.
Tahun 1527 bulan Juni Armada Portugis datang dihantam serangan dahsyat dari Pasukan Islam yang telah bertahun-tahun ingin membalas dendam atas kegagalan expedisi Jihad di Malaka 1521.
Dengan ini jatuhlah Sunda Kelapa secara resmi ke dalam Kesultanan Banten-Cirebon dan di rubah nama menjadi Jayakarta dan Tubagus Pasai mendapat gelar Fatahillah.
Perebutan pengaruh antara Pakuan-Galuh dengan Cirebon-Banten segera bergeser kembali ke darat. Tetapi Pakuan dan Galuh yang telah kehilangan banyak wilayah menjadi sulit menjaga keteguhan moral para pembesarnya. Satu persatu dari para Pangeran, Putri Pakuan di banyak wilayah jatuh ke dalam pelukan agama Islam. Begitu pula sebagian Panglima Perangnya.
Satu hal yang sangat unik dari personaliti Syarif Hidayat adalah dalam riwayat jatuhnya ibukota Pakuan 1568 hanya setahun sebelum beliau wafat dalam usia yang sangat sepuh hampir 120 tahun (1569). Diriwayatkan dalam perundingan terakhir dengan para Pembesar istana Pakuan, Syarif Hidayat memberikan 2 opsi.
Yang pertama Pembesar Istana Pakuan yang bersedia masuk Islam akan dijaga kedudukan dan martabatnya seperti gelar Pangeran, Putri atau Panglima dan dipersilakan tetap tinggal di keraton masing-masing. Yang ke dua adalah bagi yang tidak bersedia masuk Islam maka harus keluar dari keraton masing-masing dan keluar dari ibukota Pakuan untuk diberikan tempat di pedalaman Banten wilayah Cibeo sekarang.
Dalam perundingan terakhir yang sangat menentukan dari riwayat Pakuan ini, sebagian besar para Pangeran dan Putri-Putri Raja menerima opsi ke 1. Sedang Pasukan Kawal Istana dan Panglimanya (sebanyak 40 orang) yang merupakan Korps Elite dari Angkatan Darat Pakuan memilih opsi ke 2. Mereka inilah cikal bakal Penduduk Baduy Dalam sekarang yang terus menjaga anggota pemukiman hanya sebanyak 40 keluarga karena keturunan dari 40 pengawal istana Pakuan. Anggota yang tidak terpilih harus pindah ke pemukiman Baduy Luar.
Yang menjadi perdebatan para ahli hingga kini adalah opsi ke 3 yang diminta Para Pendeta Sunda Wiwitan. Mereka menolak opsi pertama dan ke 2. Dengan kata lain mereka ingin tetap memeluk agama Sunda Wiwitan (aliran Hindu di wilayah Pakuan) tetapi tetap bermukim di dalam wilayah Istana Pakuan.
Sejarah membuktikan hingga penyelidikan yang dilakukan para Arkeolog asing ketika masa penjajahan Belanda, bahwa istana Pakuan dinyatakan hilang karena tidak ditemukan sisa-sisa reruntuhannya. Sebagian riwayat yang diyakini kaum Sufi menyatakan dengan kemampuan yang diberikan Allah karena doa seorang Ulama yang sudah sangat sepuh sangat mudah dikabulkan, Syarif Hidayat telah memindahkan istana Pakuan ke alam ghaib sehubungan dengan kerasnya penolakan Para Pendeta Sunda Wiwitan untuk tidak menerima Islam ataupun sekadar keluar dari wilayah Istana Pakuan.
Terlepas dari benar-tidaknya pendapat kaum sufi di tanah air, sejarah telah membuktikan karakter yang sangat istimewa dari Syarif Hidayatullah baik dalam kapasitas sebagai Ulama, Ahli Strategi Perang, Diplomat ulung dan Negarawan yang bijak.
Bagi para sejarawan beliau adalah peletak konsep Negara Islam modern ketika itu dengan bukti berkembangnya Kesultanan Banten sebagi negara maju dan makmur mencapai puncaknya 1650 hingga 1680 yang runtuh hanya karena pengkhianatan seorang anggota istana yang dikenal dengan nama Sultan Haji.
Dengan segala jasanya umat Islam di Jawa Barat memanggil beliau dengan nama lengkap Syekh Mawlana Syarif Hidayatullah Sunan Gunung Jati Rahimahullah.
SULTAN AGENG TIRTAYASA
Sultan Ageng Tirtayasa (Banten, 1631 – 1692) adalah putra Sultan Abu al-Ma'ali Ahmad yang menjadi Sultan Banten periode 1640-1650. Ketika kecil, ia bergelar Pangeran Surya. Ketika ayahnya wafat, ia diangkat menjadi Sultan Muda yang bergelar Pangeran Ratu atau Pangeran Dipati. Setelah kakeknya meninggal dunia, ia diangkat sebagai sultan dengan gelar Sultan Abdul Fathi Abdul Fattah.
Nama Sultan Ageng Tirtayasa berasal ketika ia mendirikan keraton baru di dusun Tirtayasa (terletak di Kabupaten Serang). Ia dimakamkan di Mesjid Banten.
RIWAYAT PERJUANGAN
Sultan Ageng Tirtayasa berkuasa di Kesultanan Banten pada periode 1651 - 1682. Ia memimpin banyak perlawanan terhadap Belanda. Masa itu, VOC menerapkan perjanjian monopoli perdagangan yang merugikan Kesultanan Banten. Kemudian Tirtayasa menolak perjanjian ini dan menjadikan Banten sebagai pelabuhan terbuka.
Saat itu, Sultan Ageng Tirtayasa ingin mewujudkan Banten sebagai kerajaan Islam terbesar. Di bidang ekonomi, Tirtayasa berusaha meningkatkan kesejahteraan rakyat dengan membuka sawah-sawah baru dan mengembangkan irigasi. Di bidang keagamaan, ia mengangkat Syekh Yusuf sebagai mufti kerajaan dan penasehat sultan.
Ketika terjadi sengketa antara kedua putranya, Sultan Haji dan Pangeran Purbaya, Belanda ikut campur dengan bersekutu dengan Sultan Haji untuk menyingkirkan Sultan Ageng Tirtayasa. Saat Tirtayasa mengepung pasukan Sultan Haji di Sorosowan (Banten), Belanda membantu Sultan Haji dengan mengirim pasukan yang dipimpin oleh Kapten Tack dan de Saint Martin.
SILSILAH SULTAN BANTEN
SYARIF HIDAYATULLAH - SUNAN GUNUNG JATI Berputera :
1. Ratu Ayu Pembayun. 4. Maulana Hasanuddin
2. Pangeran Pasarean 5. Pangeran Bratakelana
3. Pangeran Jaya Lelana 6. Ratu Wianon
7. Pangeran Turusmi
PANGERAN HASANUDDIN - PANEMBAHAN SUROSOWAN (1552-1570) Berputera :
1. Ratu Pembayu 8. Ratu Keben
2. Pangeran Yusuf 9. Ratu Terpenter
3. Pangeran Arya Japara 10. Ratu Biru
4. Pangeran Suniararas 11. Ratu Ayu Arsanengah
5. Pangeran Pajajara 12. Pangeran Pajajaran Wado
6. Pangeran Pringgalaya 13. Tumenggung Wilatikta
7. Pangeran Sabrang LorPangeran 14. Ratu Ayu Kamudarage
15. Pangeran Sabrang Wetan
MAULANA YUSUF PANEMBAHAN PAKALANGAN GEDE (1570-1580) Berputra :
1. Pangeran Arya Upapati 8. Ratu Rangga
2. Pangeran Arya Adikara 9. Ratu Ayu Wiyos
3. Pangeran Arya Mandalika 10. Ratu Manis
4. Pangeran Arya Ranamanggala 11. Pangeran Manduraraja
5. Pangeran Arya Seminingrat 12. Pangeran widara
6. Ratu Demang 13. Ratu Belimbing
7. Ratu Pecatanda 14. Maulana Muhammad
MAULANA MUHAMMAD PANGERAN RATU ING BANTEN (1580-1596) Berputra :
1. Pangeran Abdul Kadir
SULTAN ABUL MAFAKHIR MAHMUD 'ABDUL KADIR KENARI (15961651) Berputra:
1. Sultan 'Abdul Maali Ahmad Kenari (Putra Mahkota) 19. Pangeran Arya Wirasuta
2. Ratu Dewi 20. Ratu Gading20.
3. Ratu Ayu 21. Ratu Pandan
4. Pangeran Arya Banten 22. Pangeran Wirasmara
5. Ratu Mirah 23. Ratu Sandi
6. Pangeran Sudamanggala 24. Pangeran Arya Jayaningrat
7. Pangeran Ranamanggala 25. Ratu Citra
8. Ratu Belimbing 26. Pangeran Arya Adiwangsa
9. Ratu Gedong 27. Pangeran Arya Sutakusuma
10. Pangeran Arya Maduraja 28. Pangeran Arya Jayasantika
11. Pangeran Kidul 29. Ratu Hafsah
12. Ratu Dalem 30. Ratu Pojok
13. Ratu Lor 31. Ratu Pacar
14. Pangeran Seminingrat 32. Ratu Bangsal
15. Ratu Kidul 33. Ratu Salamah
16. Pangeran Arya Wiratmaka 34. Ratu Ratmala
17. Pangeran Arya Danuwangsa 35. Ratu Hasanah
18. Pangeran Arya Prabangsa 36. Ratu Husaerah
37. Ratu Kelumpuk
38. Ratu Jiput
39. Ratu Wuragil
PUTRA MAHKOTA SULTAN 'ABDUL MA'ALI AHMAD, Berputera:
1. Abul Fath Abdul Fattah 8. Pangeran Arya Kidul
2. Ratu Panenggak 9. Ratu Tinumpuk
3. Ratu Nengah 10. Ratu Inten
4. Pangeran Arya Elor 11. Pangeran Arya Dipanegara
5. Ratu Wijil 12. Pangeran Arya Ardikusuma
6. Ratu Puspita 13. Pangeran Arya Kulon
7. Pangeran Arya Ewaraja 14. Pangeran Arya Wetan
15. Ratu Ayu Ingalengkadipura
SULTAN AGENG TIRTAYASA -'ABUL FATH 'ABDUL FATTAH (1651-1672) Berputra :
1. Sultan Haji 16. Tubagus Muhammad 'Athif
2. Pangeran Arya 'abdul 'Alim 17. Tubagus Abdul
3. Pangeran Arya Ingayudadipura 18. Ratu Raja Mirah
4. Pangeran Arya Purbaya 19. Ratu Ayu
5. Pangeran Sugiri 20. Ratu Kidul
6. Tubagus Rajasuta 21. Ratu Marta
7. Tubagus Rajaputra 22. Ratu Adi
8. Tubagus Husaen 23. Ratu Ummu
9. Raden Mandaraka 24. Ratu Hadijah
10. Raden Saleh 25. Ratu Habibah
11. Raden Rum 26. Ratu Fatimah
12. Raden Mesir 27. Ratu Asyiqoh
13. Raden Muhammad 28. Ratu Nasibah
14. Raden Muhsin 29. Tubagus Kulon
15. Tubagus Wetan
SULTAN ABU NASR ABDUL KAHHAR - SULTAN HAJI (1672-1687) Berputra :
1. Sultan Abdul Fadhl 6. Ratu Muhammad Alim
2. Sultan Abul Mahasin 7. Ratu Rohimah
3. Pangeran Muhammad Thahir 8. Ratu Hamimah
4. Pangeran Fadhludin 9. Pangeran Ksatrian
5. Pangeran Ja'farrudin 10. Ratu Mumbay (Ratu Bombay)
SULTAN ABUDUL FADHL (1687-1690) Berputra :
- Tidak Memiliki Putera
SULTAN ABUL MAHASIN ZAINUL ABIDIN(1690-1733 ) Berputra :
1. Sultan Muhammad Syifa 31. Raden Putera
2. Sultan Muhammad Wasi' 32. Ratu Halimah
3. Pangeran Yusuf 33. Tubagus Sahib
4. Pangeran Muhammad Shaleh 34. Ratu Sa'idah
5. Ratu Samiyah 35. Ratu Satijah
6. Ratu Komariyah 36. Ratu 'Adawiyah
7. Pangeran Tumenggung 37. Tubagus Syarifuddin
8. Pangeran Ardikusuma 38. Ratu 'Afiyah Ratnaningrat
9. Pangeran Anom Mohammad Nuh 39. Tubagus Jamil
10. Ratu Fatimah Putra 40. Tubagus Sa'jan
11. Ratu Badriyah 41. Tubagus Haji
12. Pangeran Manduranagara 42. Ratu Thoyibah
13. Pangeran Jaya Sentika 43. Ratu Khairiyah Kumudaningrat
14. Ratu Jabariyah 44. Pangeran Rajaningrat
15. Pangeran Abu Hassan 45. Tubagus Jahidi
16. Pangeran Dipati Banten 46. Tubagus Abdul Aziz
17. Pangeran Ariya 47. Pangeran Rajasantika
18. Raden Nasut 48. Tubagus Kalamudin
19. Raden Maksaruddin 49. Ratu SIti Sa'ban Kusumaningrat
20. Pangeran Dipakusuma 50. Tubagus Abunasir
21. Ratu Afifah 51. Raden Darmakusuma
22. Ratu Siti Adirah 52. Raden Hamid
23. Ratu Safiqoh 53. Ratu Sifah
24. Tubagus Wirakusuma 54. Ratu Minah
25. Tubagus Abdurrahman 55. Ratu 'Azizah
26. Tubagus Mahaim 56. Ratu Sehah
27. Raden Rauf 57. Ratu Suba/Ruba
28. Tubagus Abdul Jalal 58. Tubagus Muhammad Said (Pg. Natabaya)
29. Ratu Hayati
30. Ratu Muhibbah
SULTAN MUHAMMAD SYIFA' ZAINUL ARIFIN (1733 - 1750) Berputra :
1.Sultan Muhammad 'Arif 7. Ratu Sa'diyah
2. Ratu Ayu 8. Ratu Halimah
3. Tubagus Hasannudin 9. Tubagus Abu Khaer
4. Raden Raja Pangeran Rajasantika 10. Ratu Hayati
5. Pangeran Muhammad Rajasantika 11. Tubagus Muhammad Shaleh
6. Ratu 'Afiyah
SULTAN SYARIFUDDIN ARTU WAKIL (1750 - 1752 )
- Tidak Berputera
SULTAN MUHAMMAD WASI' ZAINUL 'ALIMIN (1752-1753)
- Tidak Berputera
SULTAN MUHAMMAD 'ARIF ZAINUL ASYIKIN (1753-1773) Berputra :
1. Sultan Abul Mafakhir Muhammad Aliyudin
2. Sultan Muhyiddin Zainusholiohin
3. Pangeran Manggala
4. Pangeran Suralaya
5. Pangeran Suramanggala
SULTAN ABUL MAFAKHIR MUHAMMAD ALIYUDDIN (1773-1799) Berputra :
1. Sultan Muhammad Ishaq Zainul Muttaqin 5. Pangeran Musa
2. Sultan Agilludin (Sultan Aliyuddin II) 6. Pangeran Yali
3. Pangeran Darma 7. Pangeran Ahmad
4. Pangeran Muhammad Abbas
SULTAN MUHYIDDIN ZAINUSHOLIHIN (1799-1801) Berputra :
1. Sultan Muhammad Shafiuddin
Sultan Muhammad Ishaq Zainul Muttaqin (1801-1802)
Sultan Wakil Pangeran Natawijaya (1802-1803)
Sultan Agilludin (Sultan Aliyuddin II) (1803-1808)
Sultan Wakil Pangeran Suramanggala (1808-1809)
Sultan Muhammad Syafiuddin (1809-1813)
Sultan Muhammad Rafiuddin (1813-1820)
Diambil dari buku : Catatan Masa Lalu Banten - Halwany 'n Mudjahid Chudari
Catatan Sejarah Kesultanan Banten
Dalam catatan orang Eropa yang berasal dari catatan laporan perjalanan Tome Pires (1513), Banten digambarkan sebagai sebuah kota pelabuhan yang ramai dan berada di bawah kekuasaan Kerajaan Sunda. Catatan itu menjelaskan juga bahwa Banten merupakan sebuah kota niaga yang baik karena terletak di sebuah teluk dan muara sungai. Kota ini dikepalai oleh seorang syahbandar dan wilayah niaganya tidak hanya menjangkau Sumatera melainkan juga sampai di Kepulauan Maldwipa. Barang dagangan utama yang diekspor dari pelabuhan ini ialah lada, beras, dan berbagai jenis makanan lainnya.
Selain dari sumber asing, ada juga sumber lokal yang menyebut-nyebut Banten. Carita Parahiyangan yang ditulis pada tahun 1518 menyebutkan adanya sebuah tempat yang bernama Wahanten Girang yang terletak agak ke pedalaman. Wahanten Girang dapat dihubungkan dengan nama Banten, bahkan oleh sebagian orang nama kota ini dipandang sebagai kata asal bagi nama Banten.
Pada pertengahan abad ke-16, Banten bukan hanya sebagai pelabuhan dagang saja, melainkan juga telah tumbuh sebagai pusat kekuasaan (kerajaan). Kesultanan Banten didirikan oleh dua unsur utama, yaitu kekuatan politik dan kekuatan ekonomi. Kekuatan politik yang merintis beridirnya Kesultanan Banten terdiri atas tiga kekuatan utama yaitu Demak, Cirebon, dan Banten sendiri dengan Sunan Gunung Jati, Fatahillah, dan Maulana Hasanuddin sebagai pelopornya.
Perintisannya diawali dengan kegiatan penyebaran agama Islam, kemudian pembentukkan kelompok masyarakat muslim, penguasaan daerah secara militer (1526), dan akhirnya penguasaan daerah secara politik sampai berdirinya suatu pemerintahan yang berdiri sendiri yang diberi nama Kesultanan Banten.
Kekuatan kedua yang melahirkan Kesultanan Banten adalah para pedagang muslim, baik para pedagang setempat maupun para pedagang yang berasal dari daerah lainnya. Kenyataan ini didukung oleh suatu kenyataan bahwa sejak awal abad ke-15 Masehi di pesisir utara teluk Banten telah tumbuh kantong kantong permukiman orang-orang muslim.
Masalahnya sekarang adalah siapakah yang mendirikan Kesultanan Banten? Pertanyaan ini perlu dikemukakan mengingat sampai saat ini masih terdapat dua versi. Versi pertama yang mendirikan Kesultanan Banten adalah Maulana Hasanudin dan versi kedua menyatakan bahwa Sunan Gunung Jati merupakan pendiri Kesultanan Banten bersamaan dengan Kesultanan Cirebon.
Menurut pendapat pertama, Pangeran Hasanudin atas petunjuk ayahnya, Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati), mendirikan Kota Surosowan sebagai ibukota kerajaan. Setelah kota itu selesai dibangun, Maulana Hasanudin kemudian diangkat sebagai penguasa pertama Banten, yang pada waktu itu belum berdaulat karena masih berada di bawah pengaruh kekuasaan Kerajaan Sunda. Pendapat ini didasarkan pada sebuah teks yang berbunyi :
Pada waktu itu di Banten sedang timbul huru hara yang disebabkan oleh
Pangeran Sabakingkin, putera Susuhunan Jatipurba dengan para
pengikutnya … orang-orang muslim dan para muridnya, bertambahtambah
dengan kedatangan angkatan bersenjata Demak dan Cirebon
yang telah berlabuh di Pelabuhan Banten, kemudian menyerang dan
memukul … angkatan bersenjata Budha-prawa. Adipati Banten dan
para pengikutnya melarikan diri masuk ke hutan belantara menuju ke
arah tenggara ke kota besar Pakuan Pajajaran. Setelah itu dinobatkanlah
Pangeran Sabakingkin di Negeri Banten dengan gelar Pangeran
Hasanudin oleh ayahnya dipertuan bagi seluruh Daerah Sunda yang
berpusat di Paserbumi yaitu negeri Cirebon atau Carage …”
Menurut pendapat pertama ini, pengangkatan Maulana Hasanudin sebagai penguasa Banten terjadi tahun 1552, tepat ketika usianya menginjak 27 tahun.
Pendapat ini ditolak oleh Hoesein Djajadiningrat yang berpendapat bahwa pendiri Kerajaan Banten bukanlah Maulana Hasanudin, melainkan Sunan Gunung Jati. Selain mendirikan Kerajaan Banten, ia pun mendirikan Kerajaan Cirebon. Sunan Gunung Jati merupakan orang yang mengangkat anaknya, Maulana Hasanudin, sebagai Raja Banten Ke-2. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pada mulanya Banten merupakan tempat kedudukan Sunan Gunung Jati selaku raja dan Cirebon dikatakan sebagai mandalanya. Ketika Sunan Gunung Jati pindah ke Cirebon, Banten seolah-olah hanya menjadi suatu kabupatian saja atau seolah-olah hanya merupakan bagian dari Kerajaan Cirebon. Dengan demikian, Sunan Gunung Jati membawahi Banten dan Cirebon sekaligus.
Dalam sumber tradisional, penguasa Banten Girang yang bernama Pucuk Umun putra Prabu Seda berhasil ditaklukan oleh Syeh Nurullah (Sunan Gunung Jati). Dengan penaklukan itu, Syeh Nurullah menjadi penguasa baru di Banten dan telah meletakkan dasar Kerajaan Banten sehingga ia bisa dianggap sebagai pendiri Kerajaan Banten.
Suksesi kekuasaan di Banten pertama kali terjadi sekitar tahun 1552 yang diawali oleh peristiwa terbunuhnya Sultan Trenggana, Sultan Demak Ke-3, dalam serangan Demak ke Panarukan tahun 1546. Peristiwa ini berdampak pada melemahnya pengawasan Demak atas Banten. Peristiwa lain yang mendorong terjadinya suksesi di Banten adalah wafatnya Pangeran Pasarean pada 1552. Ia merupakan putera Sunan Gunung Jati yang dipercaya memegang tahta Cirebon mewakili dirinya. Pada tahun itu juga, Sunan Gunung Jati kembali ke Cirebon dan seiring dengan itu, Sunan Gunung Jati menyerahkan tahta Banten kepada Hasanudin, puteranya dari hasil perkawinan dengan Nyai Kawunganten, puteri Pajajaran.
Meskipun Sunan Gunung Jati dapat dianggap sebagai pendiri Kerajaan Banten, tetapi Pangeran Hasanuddin merupakan orang pertama yang menyusun kekuatan dan kekuasaan Banten sebagai negara yang berdiri sendiri. Pangeran Hasanudin-lah yang memerdekan Banten dari Demak sehingga menjadi kerajaan yang merdeka. Sementara pada masa Sunan Gunung Jati (1525-1552), Banten merupakan kerajaan vazal Kesultanan Demak.
Dalam membangun Kerajaan Banten, Hasanudin menekankan pada bidang spiritual dan material. Bidang spiritual ditempuh dengan penyebaran agama Islam yang dilakukannya dari tahun 1515 hingga 1552. Sementara itu, bidang material dilakukan dengan memelihara dan mengembangkan kegiatan perniagaan dan pertanian yang telah ada serta mempertahankan kedudukan dan peranan Banten sebagai kota pelabuhan. Hal ini dimungkinkan oleh karena Banten telah menjadi pelabuhan tempat persinggahan saudagar-saudagar yang sedang menempuh jalan niaga Asia tradisional.
Para saudagar ini membeli rempah-rempah dari wilayah Indonesia bagian timur untuk dibawa ke negara-negara di Asia Barat dan Eropa. Dalam melakukan aktivitas perniagaannya, para saudagar ini menggunakan jalur perairan Nusa Tenggara, pantai utara Pulau Jawa, Selat Sunda, pantai Barat Sumatera, dan terus ke India. Jalur niaga ini semakin banyak dipergunakan oleh para saudagar, terutama saudagar Islam, seiring dengan jatuhnya Malaka ke tangan Portugis tahun 1511. Oleh karena Portugis menganggap musuh terhadap para saudagar Islam, mereka tidak mau berlabuh di Malaka. Bahkan lebih dari itu, saudagar saudagar Islam yang telah menetap di Malaka pun banyak yang pindah ke kota kota pelabuhan lain, di antaranya ke Banten dan Cirebon. Meskipun Banten dan Cirebon menjadi tempat menetap para saudagar Islam, namun hanya Banten-lah yang mengalami kemajuan yang pesat karena kedudukannya lebih strategis dibandingkan dengan Cirebon.
Ketika Sunan Gunung Jati masih memegang kekuasaan atas Banten, ia bersama-sama dengan Fatahillah dan Pangeran Hasanudin berhasil merebut pelabuhan terpenting Kerajaan Sunda, yakni Sunda Kalapa, pada 1527. Keberhasilan ini ditandai dengan diubahnya nama Sunda Kalapa menjadi Jayakarta. Nilai strategis dari peristiwa ini adalah pertama, Banten memegang peranan lebih penting dan dapat menarik perdagangan lada ke pelabuhannya; kedua, Banten telah menggagalkan usaha Portugis di bawah pimpinan Henrique de Leme yang hendak merealisasikan perjanjian dengan Raja Sunda.
Selain menaklukan Sunda Kalapa, beberapa daerah di luar Pulau Jawa yakni Lampung, Bengkulu, dan Selebar yang berbatasan dengan Sumatera Barat berhasil dimasukkan juga ke dalam wilayah kekuasaan Banten. Ekspansi ini dilakukan agar Banten dapat menguasai seluruh perairan Selat Sunda yang sangat strategis bagi kepentingan pelayaran dan perdagangan Banten serta bertujuan untuk memperluas kebun lada.
Maulana Hasanuddin wafat pada tahun 1570 dan dimakamkan di samping Masjid Agung Banten. Maulana Hasanudin merupakan orang yang membangun Keraton Surosowan dan dikenal oleh rakyatnya sebagai penguasa yang sangat bijaksana. Oleh karena itu, setelah ia wafat, rakyatnya memberikan gelar anumerta Pangeran Surosowan Panembahan Sabakingkin. Julukan ini memiliki makna filosofis bahwa pendiri Keraton Surosowan adalah Maulana Hasanudin yang sangat bijaksana. Dengan wafatnya Maulana Hasanudin, rakyat Banten merasakan duka cita yang amat mendalam dan merindukan adanya kebijaksanaan.
Maulana Hasanuddin kemudian digantikan oleh Maulana Yusuf, putra pertamanya, sebagai penguasa Banten kedua yang memerintah tahun 1570-1580. Masa pemerintahannya lebih menitikberatkan pada pengembangan kota, keamanan wilayah, perdagangan, dan pertanian, di samping melanjutkan politik ekspansi ayahnya. Dalam upaya perluasan wilayah, daerah pedalaman kerajaan Sunda, termasuk pusat pemerintahannya (Pakuan Pajajaran), berhasil diduduki oleh pasukan Banten yang dibantu oleh Cirebon pada tahun 1579 sehingga Kerajaan Sunda akhirnya runtuh. Para ponggawa yang ditaklukkan lalu diislamkan dan masing-masing dibiarkan memegang jabatannya semula. Dengan demikian, gangguan keamanan yang dikhawatirkan datang dari Pajajaran sudah berkurang. Maulana Yusuf dapat lebih memusatkan perhatiannya pada pembangunan sektor ekonomi dan pertanian. Proses selanjutnya adalah ditetapkannya batas wilayah kekuasaan antara Banten dengan Cirebon, yaitu Sungai Citarum dari muara sampai ke daerah pedalamannya (Cianjur sekarang).
Dengan demikian, pada masa Maulana Yusuf-lah wilayah Kesultanan Banten membentang dari pesisir utara sampai ke wilayah pedalaman. Menurut sumber setempat, diceritakan bahwa pada masa ini, daerah yang sekarang menjadi Kabupaten Lebak, dikenal dengan nama daerah Jagat Kidul. Daerah ini masih belum aman karena masih sering terjadi kekacauan. Untuk mengamankan Jagat Kidul, penguasa Banten memerintahkan Dalem Jasinga, Rd. Mas Tirta Kusumah, untuk mengamankan daerah selatan ini. Untuk melaksanakan perintah penguasa Banten itu, Dalem Jasinga pindah dari Jasinga (Bogor) ke Bayah yang diikuti oleh seluruh perangkat pemerintahannya. Sementara itu, dengan pindahnya Dalem Jasinga ke Bayah, Jasinga berubah status hanya menjadi setingkat kademangan. Jadi, menurut sumber lokal ini, cikal-bakal Kabupaten Lebak itu berasal dari Jasinga dan pertama kali memerintah Jagat Kidul di daerah Bayah. Saat ini, di daerah Bayah terdapat petilasan yang diyakini sebagai makam Rd. Mas Tirta Kusumah.
Sepeninggalnya Maulana Yusuf, Kesultanan Banten dilanda konflik perebutan tahta kesultanan. Dua orang yang memperebutkan tahta Kesultanan Banten adalah Maulana Muhammad Nasrudin dan Pangeran Jepara. Muhammad Nasrudin merupakan putera dari Maulana Yusuf dan baru berusia sembilan tahun ketika Maulana Yusuf meninggal dunia. Oleh karena Maulana Muhammad baru berusia sembilan tahun, Pangeran Jepara merasa dirinya berhak atas tahta Banten karena ia adik Maulana Yusuf. Untuk mewujudkan keinginannya itu, Pangeran Jepara berusaha menyerang Banten dengan mengerahkan pasukannya dari arah laut. Akan tetapi, serangan tersebut menemui kegagalan dan Pangeran Jepara menghentikan upayanya untuk menduduki tahta Banten. Salah satu faktor yang menyebabkan kegagalan serangan ini adalah dukungan penuh kaum ulama kepada Maulana Muhammad Nasrudin untuk menduduki tahta Banten meskipun usianya belum cukup dewasa. Untuk menjamin kelangsungan kekuasaannya, segala urusan pemerintahan ditangani oleh Mangkubumi dan sebagai penguasa Banten, Maulana Muhammad berada di bawah bimbingan seorang kadi (hakim agung).
Maulana Muhammad berkehendak untuk mengembangkan perniagaan Kesultanan Banten dengan cara menguasai rute pelayaran dari dan ke Selat Malaka. Untuk mewujudkan kehendaknya itu, ia kemudian melakukan upaya untuk mengusai Palembang yang memang terletak tidak terlalu jauh dari rute pelayaran tersebut. Meskipun demikian, kehendak mengusai rute pelayaran itu tidaklah murni keinginan Maulana Muhammad, karena ia pun mendapat pengaruh kuat dari Pangeran Mas yang berambisi menduduki tahta di Palembang. Untuk menundukan Palembang, Maulana Muhammad yang didampingi oleh Mangkubumi dan Pangeran Mas mengerahkan sekitar 200 kapal perang. Selain itu, Maulana Muhammad pun memerintahkan Lampung, Seputih, dan Semangka untuk mengerahkan tentaranya melakukan serangan dari darat. Dalam pertempuran beberapa hari di sekitar Sungai Musi, Maulana Muhammad tewas dan tidak lama kemudian pasukan Banten kembali ke negaranya tanpa membawa hasil apapun. Setelah dikebumikan di serambi Masjid Agung Banten, Maulana Muhammad kemudian dikenal dengan sebutan Prabu Seda ing Palembang atau Pangeran Seda ing Rana.
Sepeninggal Maulana Muhammad, sejak tahun 1596, tahta Kesultanan Banten diserahkan kepada Abul Mafakhir Mahmud Abdul Kadir yang baru berusia lima bulan. Ia merupakan anak satu-satunya Maulana Muhammad dari pernikahannya dengan Ratu Wanagiri, putri Mangkubumi. Untuk menjalankan roda pemerintahan Mangkubumi Jayanagara ditunjuk sebagai walinya hingga ia meninggal dunia tahun 1602 yang kemudian digantikan oleh adiknya. Akan tetapi, pada tanggal 17 Nopember 1602 ia dipecat karena berkelakuan tidak baik. Untuk menghilangkan kekhawatiran terjadinya konflik di antara pangeran dan pembesar kerajaan, perwalian atas diri sultan diserahkan sepenuhnya kepada Nyai Gede Wanagiri. Selain itu, jabatan mangkubumi pun dihapuskan dari struktur kekuasaan Kesultanan Banten, karena jabatan ini pun menjadi rebutan di kalangan pangeran dan pembesar kerajaan.
Pada bulan Januari 1624, Sultan Abdul Mufakhir Mahmud Abdulkadir (1596-1651) sepenuhnya memegang kekuasaan atas Kesultanan Banten, karena ia dipandang sudah cukup dewasa. Penyerahan kekuasaan ini dilakukan oleh Pangeran Arya Ranamanggala39 sebagai mangkubumi terakhir Kesultanan Banten. Setelah memegang tahta Kesultanan Banten, bidang pertanian, pelayaran, dan kesehatan rakyat menjadi perhatian utama Sultan Banten ini. Selain itu, Ia pun berhasil menjalin hubungan diplomatik dengan negara-negara lain, terutama dengan negara-negara Islam. Pada 1636, penguasa Arab di Mekkah memberikan sultan kepada dirinya sehingga dialah penguasa Banten pertama yang memakai gelar sultan. Sultan Abdul Mufakhir bersikap tegas terhadap siapapun yang mau memaksakan kehendaknya kepada Banten. Misalnya ia menolak mentah-mentah kemauan VOC yang hendak memaksakan monopoli perdagangan di Banten.
Keinginan VOC untuk melakukan monopoli perdagangan lada merupakan sumber konflik antara Banten dan VOC. Konflik tersebut semakin menajam, seiring dengan semakin kuatnya kedudukan VOC di Batavia yang dikuasai mereka sejak 1619. Untuk mewujudkan keinginan tersebut, VOC menerapkan blokade terhadap pelabuhan niaga Banten dengan melarang dan mencegat jung-jung dari Cina dan perahu-perahu dari Maluku yang akan berdagang ke pelabuhan Banten. Blokade ini mengakibatkan pelabuhan Banten menjadi tidak berkembang sehingga mendorong orang-orang Banten untuk memprovokasi VOC dengan cara menjadi “perompak” di laut dan “perampok” di darat. Tindakan ini dibalas oleh VOC dengan melakukan ekspedisi ke Tanam, Anyer, Lampung, dan Kota Banten sendiri berkali-kali diblokade. Situasi ini mendorong terjadinya perang antara Banten dan VOC pada bulan Nopember 1633. Enam tahun kemudian, kedua belah pihak menandatangani perjanjian perdamaian meskipun selama dua dasawarsa berikutnya hubungan mereka tetap tegang.
Sepeninggalnya Sultan Abdul Mufakhir Mahmud Abdul Kadir pada 10 Maret 1651, dan kedudukannya sebagai Sultan Banten digantikan oleh Pangeran Adipati Anom Pangeran Surya, putra Abu al-Ma’ali Ahmad, ketegangan dengan VOC terus berlanjut. Bahkan dapatlah dikatakan bahwa puncak konflik dengan VOC terjadi ketika Kesultanan Banten berada di bawah kekuasaan Pangeran Adipati Anom Pangeran Surya yang memiliki gelar Sultan Abu Al Fath Abdul Fattah Muhammad Syifa Zaina Al Arifin atau lebih dikenal dengan Sultan Ageng Tirtayasa (1651-1684).
Sultan Ageng Tirtayasa selain seorang ahli strategi perang, ia pun menaruh perhatian besar terhadap perkembangan pendidikan agama Islam di Banten. Untuk membina mental para prajurit Banten, didatangkan guru-guru agama dari Arab, Aceh, dan daerah lainnya. Salah seorang guru agama tersebut adalah seorang ulama besar dari Makassar yang bernama Syekh Yusuf gelar Tuanta Salamaka atau Syekh Yusuf Taju’l Khalwati, yang kemudian dijadikan mufti agung, sekaligus guru dan menantu Sultan Ageng Tirtayasa.
Selain mengembangkan perdagangan, Sultan Ageng Tirtayasa berupaya juga untuk memperluas wilayah pengaruh dan kekuasaan ke wilayah Priangan, Cirebon, dan sekitar Batavia. Politik ekspansi ini dilakukan oleh Sultan Ageng Tirtayasa dengan tujuan untuk mencegah perluasan wilayah kekuasaan Mataram dan perluasaan kekuasaan VOC yang dilakukan dengan cara memaksakan monopoli perdagangan di Banten. Sultan Ageng Tirtayasa meneruskan usaha kakeknya mengirimkan tentara Banten untuk melakukan gangguan-gangguan terhadap Batavia sebagai balasan bagi tindakan VOC yang terus-menerus merongrong kedaulatan Banten. Pada 1655, VOC mengajukan usul agar Sultan Banten segera memperbaharui perjanjian damai yang dibuat tahun 1645. Oleh Sultan Ageng Tirtayasa usul itu ditolak karena selama VOC ingin menang sendiri, pembaharuan itu tidak akan mendatangkan keuntungan bagi Banten.
Usaha Sultan Ageng Tirtayasa baik dalam bidang politik diplomasi maupun di bidang pelayaran dan perdagangan dengan bangsa-bangsa lain semakin meningkat. Pelabuhan Banten makin ramai dikunjungi para pedagang asing dari Persi (Iran), India, Arab, Cina, Jepang, Pilipina, Malayu, Pegu, dan lainnya. Demikian pula dengan bangsa-bangsa dari Eropa yang bersahabat dengan Inggris, Perancis, Denmark, dan Turki. Sultan Ageng Tirtayasa telah membawa Banten ke puncak kemegahannya. Di samping berhasil memajukan pertanian dengan sistem irigasi ia pun berhasil menyusun kekuatan angkatan perangnya, memperluas hubungan diplomatik, dan meningkatkan volume perniagaan Banten sehingga Banten menempatkan diri secara aktif dalam dunia perdagangan internasional di Asia.
Dalam mengembangkan negaranya, Sultan Banten bukan tidak menghadapi kesulitan dan tantangan. Kehidupan perniagaan biasa menimbulkan persaingan di kalangan kelompok-kelompok pedagang yang kadang-kadang merugikan dan menyulitkan Banten. Orang Belanda termasuk pedagang yang sering mendatangkan kesulitan bagi Banten. Armada Belanda yang berpangkalan di Batavia beberapa kali melakukan blokade terhadap pelabuhan Banten untuk memaksakan kehendaknya guna menjalankan monopoli perdagangan, seperti terjadi tahun 1655 dan 1657. Bahkan tahun berikutnya (1658) terjadi bentrokan senjata selama sekitar satu tahun antara pasukan Banten dan VOC di daerah Angke, Tangerang, dan di perairan Banten. Selain itu, hubungan Banten dengan Mataram pun sering diwarnai oleh ketegangan, akibat besarnya keinginan Mataram untuk berkuasa atas seluruh Pulau Jawa dan menjadikan Banten berada di bawah kekuasaannya, tetapi Banten selalu menolaknya. Hal itu terjadi, misalnya pada tahun 1628 dan 1649.47 Keadaan itu semua memaksakan Banten harus meningkatkan kekuatan militernya dan sering mengirimkan kelompok pasukan ke daerah perbatasan dengan Batavia dan Mataram.
Banten menjalankan politik luar negeri yang bebas aktif. Banten membuka pintu kepada siapa pun yang mau berhubungan baik dan kerja sama dengan Kesultanan Banten. Sebaliknya, siapa pun akan dipandang tidak bersahabat, bila mengganggu kedaulatan Banten. Kesultanan Banten aktif membina hubungan baik dan kerjasama dengan berbagai pihak di sekitarnya atau di tempat yang jauh sekalipun. Sekitar tahun 1677 Banten mengadakan kerjasama dengan Trunojoyo yang sedang memberontak terhadap Mataram. Dalam pada itu, dengan Makasar, Bangka, Cirebon, dan Indrapura dijalin hubungan baik.
Demikian pula hubungannya dengan Cirebon, sejak awal telah terjadi hubungan erat dengan Cirebon melalui pertalian keluarga (kedua keluarga keraton adalah keturunan Syarif Hidayatullah) dan kerjasama bidang keagamaan, militer, dan diplomatik. Dalam hal ini, Cirebon pernah membantu Banten dengan mengirim pasukan militer dalam upaya menduduki ibukota Kerajaan Sunda. Sebaliknya, Banten membantu Cirebon dalam membebaskan dua orang putera Panembahan Girilaya, yaitu Pangeran Martawijaya dan Pangeran Kartawijaya, yang ditahan di ibu kota Mataram dan pasukan Trunojoyo di Kediri tahun 1677. Walaupun begitu, hubungan Banten dengan Cirebon pernah pula diwarnai oleh suasana lain. Jika terjadi konflik antara Banten dengan Mataram, Cirebon selalu bersikap netral, walaupun kadang-kadang Banten mendesak Cirebon agar memihak kepadanya dan kadang-kadang Mataram mendesak Cirebon agar berpihak kepadanya.50 Di samping itu, atas jasa Banten dalam membebaskan dan mengembalikan Pangeran Martawijaya dan Pangeran Kartawijaya dari tahanan Mataram dan tentara Trunojoyo serta mengembalikan mereka ke Cirebon, bahkan mengangkatnya menjadi Sultan di Cirebon, sejak 1676 kekuasaan Banten masuk ke dalam keraton Cirebon. Hal ini berlangsung sampai tahun 1681, ketika Cirebon menjalin hubungan dan kerjasama dengan VOC.
Selain membawa Banten ke puncak kejayaannya, era kepemimpinan Sultan Ageng Tirtayasa diwarnai pula dengan konflik antara Banten dengan VOC yang semakin memuncak. Pada awalnya, Sultan Ageng Tirtayasa berusaha mengajak Mataram untuk secara bersama-sama menghadapi VOC. Akan tetapi, usaha tersebut gagal dilakukan seiring dengan lemahnya kepemimpinan Sunan Amangkurat II yang telah menandatangani perjanjian dengan VOC yang sangat merugikan Mataram. Dengan adanya perjanjian Sultan Ageng Tirtayasa tidak bisa memutuskan hubungan Mataram dengan VOC sehingga perhatiannya ditujukan terhadap Cirebon. Ia berupaya membangkitkan perlawanan rakyat Cirebon terhadap VOC, meskipun tetap mengalami kegagalan. Dengan demikian, Sultan Ageng Tirtayasa harus berhadapan sendiri dengan VOC.
Bersamaan dengan itu, Banten mengalami perpecahan dari dalam, putra mahkota Sultan Abu Nasr Abdul Kahar yang dikenal dengan Sultan Haji diangkat jadi pembantu ayahnya mengurus urusan dalam negeri. Sedangkan urusan luar negeri dipegang oleh Sultan Ageng Tirtayasa dan dibantu oleh putera lainnya, Pangeran Arya Purbaya. Pemisahan urusan pemerintahan ini tercium oleh wakil Belanda di Banten, W. Caeff yang kemudian mendekati dan menghasut Sultan Haji. Karena termakan hasutan VOC, Sultan Haji menuduh pembagian tugas ini sebagai upaya menyingkirkan dirinya dari tahta kesultanan. Agar tahta kesultanan tidak jatuh ke tangan Pangeran Arya Purbaya, Sultan Haji kemudian bersekongkol dengan VOC untuk merebut tahta kekuasaan Banten. Persekongkolan ini dilakukan oleh Sultan Haji setelah Sultan Ageng Tirtayasa lebih banyak tinggal di keraton Tirtayasa.
VOC, yang sangat ingin menguasai Banten, bersedia membantu Sultan Haji untuk mendapatkan tahta kesultanan. Untuk itu, VOC mengajukan empat syarat yang mesti dipenuhi oleh Sultan Haji. Pertama, Banten harus menyerahkan Cirebon kepada VOC. Kedua, VOC akan diizinkan untuk memonopoli perdagangan lada di Banten dan Sultan Banten harus mengusir para pedagang Persia, India, dan Cina dari Banten. Ketiga, apabila ingkar janji, Kesultanan Banten harus membayar 600.000 ringgit kepada VOC. Keempat, pasukan Banten yang menguasai daerah pantai dan pedalaman Priangan harus segera ditarik kembali.
Oleh karena dijanjikan akan segera menduduki tahta Kesultanan Banten, persyaratan tersebut diterima oleh Sultan Haji. Dengan bantuan pasukan VOC, pada tahun 1681 Sultan Haji melakukan kudeta kepada ayahnya dan berhasil menguasai istana Surosowan. Istama Surosowan tidak hanya berfungis sebagai tempat kedudukan Sultan Haji, tetapi juga sebagai simbol telah tertanamnya kekuasaan VOC atas Banten. Melihat situasi politik tersebut, tanggal 27 Pebruari 1682 pasukan Sultan Ageng Tirtayasa Istana Surosowan untuk mengepung Sultan Haji dan VOC yang telah menduduki Istana Surosowan. Serangan itu dapat menguasai kembali Istana Surosowan dan Sultan Haji segera dibawa ke loji VOC serta mendapat perlindungan dari Jacob de Roy.
Mengetahui bahwa Sultan Haji telah berada di bawah perlidungan VOC, pasukan Sultan Ageng Tirtayasa bergerak menuju loji VOC untuk menghancurkannya. Di bawah pimpinan Kapten Sloot dan W. Caeff, pasukan Sultan Haji bersama-sama dengan pasukan VOC mempertahankan loji itu dari kepungan pasukan Sultan Ageng Tirtayasa. Akibat perlawanan yang sangat kuat dari pasukan Sultan Ageng Tirtayasa, bantuan militer yang dikirim dari Batavia tidak dapat mendarat di Banten. Akan tetapi, setelah ada kepastian bahwa VOC akan diberi izin monopoli perdagangan di Banten oleh Sultan Haji, pada 7 April 1682 bantuan dari Batavia itu memasuki Banten di bawah komando Tack dan De Saint Martin. Dengan kekuatan yang besar, pasukan VOC menyerang Keraton Surosowan dan Keraton Tirtayasa serta berhasil membebaskan loji VOC dari kepungan Sultan Ageng Tirtayasa.
Meskipun demikian, Sultan Ageng Tirtayasa terus melakukan perlawanan hebat yang dibantu oleh orang-orang Makassar, Bali, dan Melayu. Markas besar pasukannya ada di Margasama yang diperkuat oleh sekitar 600 sampai 800 orang prajurit di bawah komando Pangeran Suriadiwangsa. Sementara itu, Pangeran Yogya mempertahankan daerah Kenari dengan kekuatan sekitar 400 orang; Kyai Arya Jungpati dengan jumlah pasukan sekitar 120 orang mempertahankan daerah Kartasana. Sekitar 400 orang mempertahankan daerah Serang; 400 sampai 500 orang mempertahankan daerah Jambangan; sebanyak 500 orang berupaya untuk mempertahankan Tirtayasa; dan sekitar 100 orang memperkuat daerah Bojonglopang.
Serangan hebat yang dilakukan oleh pasukan VOC berhasil mendesak barisan Banten sehingga Margasana, Kacirebonan, dan Tangerang dapat dikuasai juga oleh VOC. Sultan Ageng kemudian mengundurkan diri ke Tirtayasa yang dijadikan pusat pertahanannya. Tanara dan Pontang juga diperkuat pertahanannya. Di Kademangan ada pasukan sekitar 1.200 orang di bawah pimpinan Arya Wangsadiraja. Mereka cukup lama dapat bertahan, tetapi pada tanggal 2 Desember 1682 Kademangan akhirnya jatuh juga setelah terjadi pertempuran sengit antara kedua pasukan. Dalam serangkaian pertempuran ini di kedua belah pihak banyak yang gugur. Sebagian pasukan Banten mengungsi ke Ciapus, Pagutan, dan Jasinga. Dengan jatuhnya pertahanan Kademangan, tinggal Tirtayasa yang menjadi bulan-bulanan VOC. Serangan umum dimulai dari daerah pantai menuju Tanara dan Tangkurak. Pada tanggal 28 Desember 1682 pasukan Jonker, Tack, dan Miichielsz menyerang Pontang, Tanara, dan Tirtayasa serta membakarnya. Ledakan-ledakan dan pembakaran menghancurkan keraton Tirtayasa. Akan tetapi Sultan Ageng Tirtayasa berhasil menyelamatkan diri ke pedalaman. Pangeran Arya Purbaya juga berhasil lolos dengan selamat dengan terlebih dahulu membakar benteng dan keratonnya.
Pihak VOC berusaha beberapa kali untuk mencari Sultan Ageng Tirtayasa dan membujuknya untuk menghentikan perlawanan dan turun ke Banten. Untuk menangkap Sultan Ageng Tirtayasa, VOC memerintahkan Sultan Haji untuk menjemput ayahnya. Ia kemudian mengutus 52 orang keluarganya ke Ketos dan pada malam menjelang tanggal 14 Maret 1683 iring-iringan Sultan Ageng Tirtayasa memasuki Istana Surosowan. Setibanya di Istana Surosowan, Sultan Haji dan VOC segera menangkap Sultan Ageng Tirtayasa dan dipenjarakan di Batavia sampai ia meninggal tahun 1692. Penangkapan itu telah mengakhiri peperangan Banten melawan VOC sehingga berkibarlah kekuasaan VOC di wilayah Banten.
Meskipun demikian, rakyat Banten masih melakukan perlawanan walaupun semuanya tidaklah begitu berarti. Tidak lama setelah itu, dengan restu VOC, Sultan Haji dinobatkan menjadi Sultan Banten (1682-1687). Penobatan ini disertai beberapa persyaratan sehingga Kesultanan Banten tidak lagi memiliki kedaulatan. Persyaratan tersebut kemudian dituangkan dalam sebuah perjanjian yang ditandatangani pada 17 April 1684 yang isinya sebagai berikut.
- Bahwa semua pasal serta ayat yang tercantum pada perjanjian 10 Juli 1659 mendapat pembaharuan, dan pasal yang masih dipercayai dan menguntungkan bagi kedua belah pihak akan dipelihara baik-baik tanpa pembaharuan. Di samping itu kedua belah pihak menganggap sebagai kedua kerajaan yang bersahabat yang dapat memberikan keuntungan bagi kedua belahnya. Tambahan bahwa Sultan Banten tidak boleh memberikan bantuan apa pun kepada musuh-musuh VOC, baik berupa senjata, alat perang atau bahan perbekalan, demikian pula halnya kepada sahabat VOC dan terutama sunan atau susuhunan atau putera-putera mahkota Cirebon tidak boleh mencoba melakukan penyerangan atau permusuhan karena ketenangan dan perdamaian di Jawa bagaimanapun harus terlaksana.
- Dan oleh karena penduduk kedua belah pihak harus ada ketenangan dan bebas dari segala macam pembunuhan dan perampokan yang dilakukan oleh orang-orang jahat di hutan-hutan dan pegunungan, maka orang Banten dilarang mendatangi daerah termasuk Jakarta baik di sungai-sungainya maupun di anak-anak sungainya. Sebaliknya juga bagi orang Jakarta tidak boleh mendatangi daerah dan sungai ataupun anak sungainya yang ternasuk Banten. Kecuali kalau disebabkan keadaan darurat masing-masing diperbolehkan memasuki daerah tersebut tetapi dengan surat izin jalan yang sah, dan kalau tidak maka akan dianggap sebagai musuh yang dapat ditangkap atau dibunuh tanpa memutuskan perjanjian perdamaian itu.
- Dan karena harus diketahui dengan pasti sejauh mana batas daerah kekuasaan yang sejak jaman lampau telah dimaklumi, maka tetap ditentukan daerah yang dibatasi oleh Sungai Untung Jawa (Cisadane) atau Tanggerang dari pantai laut hingga pegunungan sejauh aliran sungai tersebut dengan kelokannya dan kemudian menurut garis lurus dari daerah selatan hingga utara sampai di lautan selatan. Bahwa semua tanah di sepanjang Sungai Untung Jawa atau Tanggerang akan menjadi milik atau ditempati VOC.
- Dalam hal itu setiap kapal VOC atau kepunyaan warganya, begitu pula kepunyaan Sultan Banten dan warganya, jika terdampar atau mendapat kecelakaan di laut Jawa dan sumatera, harus mendapat pertolongan baik penumpangnya atau pun barangbarangnya.
- Bahwa atas kerugian, kerusakan yang terjadi sejak perjanjian tahun 1659 yang diakibatkan oleh Sultan dan kesultanan Banten sebagaimana telah jelas dinyatakan pada tahun 1680 oleh utusan Banten dan demikian pula akibat pembunuhan dan perampokan oleh Pangeran Aria Sura di loji VOC sehingga ada pembunuhan kepala VOC Jan van Assendelt, dan segala kerugian-kerugian lainnya harus diganti oleh Sultan dengan uang sejumlah 12.000 ringgit kepada VOC.
- Setelah perjanjian ditandatangani dan disahkan oleh kedua belah pihak maka baik tentara pengawal, pembunuh atau pelanggar hukum VOC atau juga orang partikelir yang bersalah tanpa membedakan golongan atau kebangsaan dari sini atau dari tempat lainnya di daerah VOC, jika datang ke daerah Banten atau tempat lain yang ada di bawah daerah hukum VOC akan segera ditahan dan kemudian diserahkan kembali kepada perwakilan VOC.
- Bahwa karena Banten tidak merupakan satu-satunya penguasa terhadap Cirebon maka harus dinyatakan bahwa kekuasaan raja-raja Cirebon dapat ditinjau kembali sebagai sahabat yang bersekutu di bawah perlindungan VOC yang juga di dalam ikatan perdamaian dan persahabatan ini telah dimengerti oleh kedua belah pihak.
- Bahwa berkenaan dengan isi perjanjian tahun 1659 pasal empat dimana dinyatakan bahwa VOC tidak perlu memberikan sewa tanah atau rumah untuk loji, maka menyimpang dari hal itu VOC akan menentukan pembayaran kembali dengan cara debet.
- Sultan berkewajiban untuk di waktu yang akan datang tidak mengadakan perjanjian atau persekutuan atau perserikatan dengan kekuatan atau bangsa lain karena bertentangan dengan isi perjanjian ini.
- Karena perjanjian ini harus tetap terpelihara dan berlaku terus hingga masa yang akan datang, maka Paduka Sri Sultan Abdul Kahar Abu Nasr beserta keturunannya harus menerima seluruh pasal dalam perjanjian ini, dan dimaklumi, dianggap suci, dipercayai dan benar-benar akan dilaksanakan dan kemudian oleh segenap pembesar kerajaan tanpa penolakan sebagaimana pula dari pihak VOC yang diwakili oleh misi komandan dan Presiden Francois Tack, Kapten Herman Dirkse Wanderpoel, pedagang Evenhart van der Schuer, dan kapten bangsa Melayu Wan Abdul Bagus dari atas nama Gubernur Jenderal VOC dan Dewan Hindia juga atas nama Dewan Jenderal VOC Belanda.
Perjanjian ini ditandatangani oleh kedua belah pihak, dari pihak Banten diwakili oleh Sultan Abdul Kahar, Pangeran Dipaningrat, Kiyai Suko Tajuddin, Pangeran Natanagara, dan Pangeran Natawijaya, sementara dari pihak Belanda diwakili oleh Komandan dan Presiden Komisi Francois Tack, Kapten Herman Dirkse Wonderpoel, Evenhart van der Schuere, serta kapten bangsa Melayu Wan Abdul Bagus. Perjanjian itu sangat jelas meniadakan kedaulatan Banten karena dengan perjanjian itu segala sesuatu yang berkaitan dengan urusan dalam dan luar negeri harus atas persetujuan VOC. Dengan ditandatanganinya perjanjian itu, selangkah demi selangkah VOC mulai menguasai Kesultanan Banten dan sebagai simbol kekuasaannya, pada tahun 1684-1685 VOC mendirikan sebuah benteng pertahanan di bekas benteng kesultanan yang dihancurkan. Selain itu, didirikan pula benteng Speelwijk sebagai bentuk penghormatan kepada Speelman yang menjadi Gubernur Jenderal VOC dari tahun 1682 sampai dengan 1685. Demikian pula Banten sebagai pusat perniagaan antarbangsa menjadi tertutup karena tidak ada kebebasan melaksanakan politik perdagangan, kecuali atas izin VOC.
Penderitaan rakyat semakin berat bukan saja karena pembersihan atas pengikut Sultan Ageng Tirtayasa serta pajak yang tinggi karena sultan harus membayar biaya perang, tetapi juga karena monopoli perdagangan VOC. Rakyat dipaksa untuk menjual hasil pertaniannya terutama lada dan cengkeh kepada VOC dengan harga yang sangat rendah. Pedagang-pedagang bangsa Inggris, Perancis, dan Denmark diusir dari Banten dan pindah ke Bangkahulu, karena banyak membantu Sultan Ageng Tirtayasa.
Dengan kondisi demikian, sangatlah wajar kalau masa pemerintahan Sultan Haji banyak terjadi kerusuhan, pemberontakan, dan kekacauan di segala bidang yang ditimbulkan oleh rakyat. Selain menghadapi penentangan dari rakyatnya sendiri, Sultan Haji pun menghadapi suatu kenyataan bahwa VOC merupakan tuan yang harus dituruti segala kehendaknya. Karena tekanan-tekanan itu, akhirnya Sultan Haji jatuh sakit hingga meninggal dunia pada tahun 1687.
Jenazahnya dimakamkan di sebelah utara mesjid agung Banten, sejajar dengan makam ayahnya. Sepeninggal Sultan Haji terjadilah perebutan kekuasaan di antara anak-anaknya. Pertingkaian itu dapat diselesaikan setelah Gubernur Jenderal VOC van Imhoff turun tangan dengan mengangkat anak pertama, Pangeran Ratu menjadi Sultan Banten dengan gelar Sultan Abu’l Fadhl Muhammad Yahya (1687-1690). Ternyata Sultan Abu’l Fadhl termasuk orang yang sangat membenci Belanda. Ditatanya kembali Banten yang sudah porak poranda itu. Akan tetapi baru berjalan tiga tahun, ia jatuh sakit yang mengakibatkan kematiannya. Jenazahnya dimakamkan di samping kanan makam Sultan Hasanuddin di Pasarean Sabakingkin.
Oleh karena Sultan Abu’l Fadhl Muhammad Yahya tidak mempunyai anak, tahta kesultanan diserahkan kepada adiknya Pangeran Adipati dengan gelar Sultan Abu’l Mahasin Muhammad Zainul Abidin juga biasa disebut Kang Sinuhun ing Nagari Banten yang menjadi gelar sultan-sultan Banten berikutnya. Ia memerintah dari tahun 1690 sampai 1733.61 Putra Sultan Abu’l Mahasin yang sulung meninggal dunia dibunuh orang sehingga yang menggantikan tahta kesultanan pada tahun 1733 adalah putra keduanya yang kemudian bergelar Sultan Abulfathi Muhammad Shifa Zainul Arifin (1733-1747).
Pada masa pemerintahan Sultan Zainul Arifin ini sering terjadi pemberontakan rakyat yang tidak senang dengan perlakuan VOC yang sudah di luar batas kemanusiaan. Memang pada awal abad ke-18 terjadi perubahan politik VOC dalam pengelolaan daerah yang dikuasainya. Monopoli rempah-rempah dianggapnya sudah tidak menguntungkan lagi karena Inggris sudah berhasil menanam cengkeh di India sehingga harga cengkeh di Eropa pun turun. Oleh karena itu, VOC mengalihkan usahanya dengan menanam tebu dan kopi di samping rempah-rempah yang kemudian hasilnya harus dijual kepada VOC dengan harga yang telah ditetapkan secara sepihak oleh VOC.
Untuk keperluan penanaman tebu dan kopi itu, VOC banyak membutuhkan tanah yang luas dan tenaga kerja murah. Maka mulailah penaklukkan daerah-daerah pedalaman. Raja yang menguasai daerah itu diharuskan menanam tebu atau kopi yang kemudian hasilnya harus dijual kepada VOC dengan harga yang sudah ditentukan. Rakyat dipaksa menanami sebagian tanahnya dengan tebu atau kopi yang hasilnya harus dijual kepada raja, yang kemudian menjualnya kembali kepada VOC. Sering terjadi, VOC membeli kopi dari raja seharga 21 ringgit per pikul, sedangkan raja membayar hanya 5 ringgit kepada petani. Demikian pula cara penimbangan yang semberono, jenjang birokrasi perdagangan yang berbelit-belit, menyebabkan kerugian pada rakyat petani. Sebagai gambaran dapatlah dikemukakan sebagai berikut: Sultan menjual lada kepada VOC seharga 15 mat Spanyol per bahar (375 pon), sedangkan sultan sendiri membelinya dari pejabat yang ditunjuknya seharga 7,8 atau 9 mat Spanyol, dan pejabat tersebut membeli dari rakyat seharga 4 mat Spanyol yang dibayarnya dengan cara penukaran barang kebutuhan sehari-hari seperti garam, kain, beras, dan lauk-pauk yang diperhitungkan dengan harga tinggi, sehingga si petani hampir tidak mendapat apa-apa dari hasil buminya itu.
Sementara itu, di keraton pun terjadi keributan dan kekacauan pemerintahan. Sultan Zainul Arifin tidak mampu melepaskan diri dari pengaruh Ratu Syarifah Fatimah, seorang janda seorang letnan Melayu di Batavia yang dinikahi dan dijadikan permaisurinya. Ketidakberdayaan itu terlihat dari keputusan Sultan Zainul Arifin yang membatalkan penunjukan Pangeran Gusti sebagai putra mahkota. Atas pengaruh Ratu Syarifah Fatimah dan persetujuan VOC, Sultan Zainul Arifin mengangkat Pangeran Syarif Abdullah, menantu Ratu Fatimah dari suaminya yang terdahulu, menjadi putra mahkota. Setelah dibatalkan sebagai putra mahkota, atas suruhan Ratu Syarufah Fatimah, Pangeran Gusti disuruh pergi ke Batavia dan di tengah perjalanan ditangkap tentara VOC dan diasingkan ke Sailan pada tahun 1747. Tidak lama setelah menantunya diangkat menjadi putra mahkota, Ratu Syarifah Fatimah memfitnah suaminya gila sehingga sultan ditangkap oleh VOC dan diasingkan ke Ambon sampai meninggal. Sebagai gantinya Pangeran Syarif Abdullah dinobatkan sebagai Sultan Banten pada tahun 1750 dengan gelar Sultan Syarifuddin Ratu Wakil. Meskipun demikian, Ratu Fatimah-lah yang memegang kuasa atas pemerintahan di Kesultanan Banten.
Kecurangan yang dilakukan Ratu Fatimah ini bagi rakyat dan sebagian pembesar negeri merupakan suatu penghinaan besar dan penghianatan yang sudah tidak bisa diampuni lagi sehingga rakyat pun melakukan perlawanan bersenjata. Di bawah pimpinan Ki Tapa dan Ratu Bagus Buang, mereka menyerbu Surosowan. Strategi yang diterapkan oleh Ki Tapa dan Ratu Bagus Buang adalah membagi pasukannya menjadi dua kelompok. Kelompok pertama yang dipimpin oleh Ratu Bagus Buang diberi tugas untuk melakukan penyerangan ke Kota Surasowan. Sementara itu, Ki Tapa memimpin kelompok kedua dengan tugas mencegat bantuan pasukan VOC dari Batavia. Hanya dengan bantuan tambahan yang didatangkan langsung dari Negeri Belanda, VOC dapat memukul mundur pasukan Ki Tapa dan Ratu Bagus Buang. Untuk melanjutkan perjuangannya, Ki Tapa menyingkir ke daerah pedalaman Banten dan menjadikan Sajira yang terletak di Lebak sebagai salah satu pusat pertahanannya.
Untuk menenangkan rakyat Banten, Gubernur Jenderal VOC Jacob Mossel, memerintahkan wakilnya di Banten untuk menangkap Ratu Syarifah Fatimah dan Sultan Syarifuddin yang dianggapnya sebagai sumber kekacauan. Keduanya kemudian diasingkan ke daerah Maluku, Ratu Fatimah ke Saparua dan Sultan Syarifuddin ke Banda. Tidak lama setelah itu, tepatnya pada 1752, VOC mengangkat Pangeran Arya Adisantika, adik Sultan Zainul Arifin, menjadi Sultan Banten dengan gelar Sultan Abulma’ali Muhammad Wasi’ Zainal ‘Alimin. Selain itu, Jacob Mossel pun segera mengembalikan Pangeran Gusti dari tempat pengasingannya dan ditetapkan sebagai putra mahkota.66 Akan tetapi dengan pengangkatan itu, Sultan Abulma’ali harus menandatangani perjanjian dengan VOC yang isinya semakin memperkuat dan mempertegas kekuasaan VOC atas Banten. Isi perjanjian itu selengkapnya berbunyi sebagai berikut.
- Banten di bawah kuasa penuh VOC Belanda walaupun pemerintahan tetap di tangan Sultan.
- Sultan akan mengirim utusan ke Batavia setiap tahun sambil membawa upeti berupa lada yang jumlahnya ditetapkan VOC.
- Hanya VOC Belanda yang boleh mendirikan benteng di Banten.
- Banten hanya boleh menjual kopi dan tebu kepada VOC saja.
- Sejalan dengan bunyi pasal 4, banyaknya produksi kopi dan tebu di Banten haruslah ditentukan VOC.
Perjanjian itu sangat merugikan Banten sehingga Pangeran Gusti, beberapa pangeran, dan pembesar keraton lainnya menjadi gusar. Rakyat kembali mengadakan hubungan dengan Ki Tapa di Sajira, Lebak. Di bawah kepemimpinan Ki Tapa dan Ratu Bagus Buang kembali mengangkat senjata menentang VOC.
Sementara itu, para pangeran dan pembesar keraton melakukan pengacauan di dalam kota. Dengan susah payah VOC akhirnya dapat melumpuhkan seranganserangan tersebut. Perlawanan rakyat yang dipimpin oleh Ki Tapa dan Ratu Bagus Buang, mengakibatkan Sultan Abulma’ali Muhammad Wasi’zainul ‘Alamin menyerahkan kekuasaannya kepada Pangeran Gusti. Pada tahun 1753 Pangeran Gusti dinobatkan menjadi sultan dengan gelar Abu’l Nasr Muhammad ‘Arif Zainul ‘Asiqin (1753-1773).
Perlawanan rakyat Banten terhadap hegemoni VOC terus berlangsung. Bahkan setelah Pemerintah Kerajaan Belanda mengambil alih kekuasaan dari tangan VOC, perlawanan rakyat tersebut tidaklah menjadi menurun. Sepanjang abad ke-19, daerah Banten terus menerus dilanda konflik senjata antara pasukan Banten dengan Pemerintah Hindia Belanda. Untuk mengatasi perlawanan ini, pada 1809 Gubernur Jenderal Daendels menghapus Kesultanan Banten dan bekas wilayahnya dibagi dua menjadi Caringin dan Serang. Ketika kekuasaan berpindah ke tangan Sir Stamford Raflles terjadi lagi perubahan wilayah di bekas Kesultanan Banten. Sejak tahun 1813, daerah ini dibagi menjadi empat kabupaten yaitu :
- Kabupaten Banten Lor (Banten Utara) yang dipimpin oleh Pangeran Suramenggala;
- Kabupaten Banten Kulon (Banten Barat) diperintah oleh Tubagus Hayudin;
- Kabupaten Banten Tengah yang diperintah oleh Tubagus Ramlan; dan
- Kabupaten Banten Kidul (Banten Selatan) yang diperintah oleh Tumenggung Suradilaga.
Sumber: http://humaspdg.wordpress.com